Industri minyak sawit masih jadi primadona dalam menghasilkan devisa bagi Indonesia. Pada 2017, perolehan devisa dari produk minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil mencapai Rp 239,4 triliun dengan 31,5 juta ton CPO yang di ekspor. Minyak kelapa sawit mampu mendongkrak pendapatan devisa Indonesia secara nasional begitu juga para pengusaha perkebunan kelapa sawit mendapatkan keuntungan yang besar. Dengan luas 22,2 juta hektare perkebunan kelapa sawit (Sawit Watch, 2018) buruh yang bekerja di industri minyak kelapa sawit ini melibatkan 22 juta buruh (OPPUK, 2019). Sektor sawit ini tak lepas dari sorotan banyak ciptakan masalah lingkungan dari hutan rusak, lingkungan tercemar sampai berbagai konflik lahan dan sumber daya alam. Tambah lagi, nasib buruh sektor ‘andalan’ ini sangat memprihatinkan. 70 persen tenaga kerja yang bergantung pada industri perkebunan sawit didominasi Buruh Harian Lepas (BHL).
Herwin Nasution SH, Ketua Umum Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (SERBUNDO) dalam diskusi dengan Koalisi Buruh Sawit (KBS) di Jakarta, Minggu (28/4/19) mengatakan, ada banyak permasalahan menyangkut perkebunan sawit. Mulai soal lingkungan, deforestasi, tata ruang wilayah dan lain-lain. Mengenai isu buruh di perkebunan sawit, seakan luput perhatian. Persoalannya, pengawasan dan penegakan hukum lemah dan tak berpihak buruh. Ini terlihat dari pembiaran atas eksploitasi buruh. Beberapa masalah biasa terjadi, seperti pemberian target kerja tak manusiawi, diskriminasi buruh perempuan, pekerja anak dampak target beban yang tinggi, penyelewengan status kerja dan praktik upah di bawah aturan yang melanggar UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Menurut Herwin Nasution, skema pengawasan dari kementerian ketenagakerjaan memiliki banyak kelemahan cukup esensial. Pertama, pengawas ketenagakerjaan di provinsi tak punya pengetahuan teknis memadai tentang industri sawit hingga mempersulit pengawas memahami konteks perkebunan sawit. Kedua, jumlah pengawas tak sebanding dengan perusahaan dan luas wilayah pengawasan. Ketiga, mekanisme pengawasan seperti penentuan tempat dan perusahaan yang dituju sudah ditentukan dalam program kerja tahunan. Kondisi ini, katanya, menyebabkan kalau ada pengaduan insidentil dari buruh, harus melalui persetujuan birokrasi dan disetujui pihak berwenang untuk monitoring. Dengan begitu, penindakan kasus seringkali terlambat bahkan sering terlupakan.
Selain itu, kata Herwin, dalam praktik perburuhan di perkebunan sawit, acap kali banyak diskriminasi terhadap kaum perempuan. Kebanyakan perempuan bekerja dengan status BHL. Mereka biasa bekerja di bidang perawatan, pemupukan, penyemportan insektisida, pembrondol, dan lain-lain. Karena banyak bersinggungan dengan pestisida, kesehatan reproduksi buruh perempuan makin terancam.