Jumlah buruh perkebunan kelapa sawit di Indonesia diprediksi mencapai 22 juta orang (OPPUK, 2019) dimana diperkirakan sekitar 1,1 juta dari jumlah tersebut ada di Provinsi Sumatera Utara dan hanya sebagian kecil saja terdaftar sebagai peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Rendahnya kepesertaan ini menyebabkan buruh tidak memiliki jaminan social menghadapi risiko sakit, kecelakaan kerja dan kematian, jaminan pensiun dan hari tua seperti yang terjadi sekarang ini di Sumatera Utara. Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (SERBUNDO) melihat perlu melakukan upaya agar ketentuan yang mewajibkan semua pekerja/ buruh harus didaftarkan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan dapat dilaksanakan dengan maksimal. Sehingga perlindungan buruh melalui penyelenggaraan program BPJS jumlahnya dapat terus meningkat dan cakupan jaminan sosialnya diperluas sesuai amanat UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS Ketenagakerjaan.

Pemeritah berupaya melaksanakan UU No. 24 tahun 2011. Salah satu mandate tugas BPJS adalah memastikan pelaksanaan jaminan social Ketenagakerjaan atau dikenal dengan BPJS Ketenagakerjaan. OPPUK bersama SERBUNDO telah membangun dialog demi dialog dengan BPJS Ketenagakerjaan sehingga terbangun komitmen bersama untuk mengatasi permasalahan minimnya BPJS Ketenagakerjaan pada buruh di perkebunan kelapa sawit. Komitmen ini tertuang melalui Memorandum of Understanding (Nota Kesepahaman) antara SERBUNDO dengan BPJS Ketenagakerjaan Kantor Wilayah Sumbagut tentang Sinergi Penyelenggaraan Program Sosial Ketenagakerjaan. Dalam nota kesepahaman ini kedua belah pihak sepakat untuk:

  1. Mewujudkan keberhasilan implementasi penyelenggaraan program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan khususnya bagi Pekerja Penerima Upah yang bekerja pada pemberi kerja selain penyelenggara Negara.
  2. Berperan aktif dalam meningkatkan kesadaran hukum bagi Perusahaan-Perusahaan di Sumatera Utara untuk memenuhi hak dan kewajiban tenaga kerja dalam memperoleh program Jaminan Sosial yang diselenggarakan oleh Pihak Pertama.
  3. SERBUNDO sepakat untuk mendorong Perusahaan-Perusahaan di Sumatera Utara mendaftarkan tenaga kerjanya sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  4. Meningkatkan kepesertaan Jaminan Sosial Ketenagakerjan dan kegiatan sosialisasi bersama serta terkait kegiatanlainnya disepakati oleh para Pihak.
  5. Bersama-sama melakukan sosialisasi kepada perusahaan anggota Pihak Kedua yang berkaitan dengan Program Jaminan Sosial BPJS Ketenagakerjaan.

Pelaksanaan penandatanganan MoU ini dibarengi dengan Seminar tentang “Penegakkan Hukum BPJS Ketenagakerjaan” yang bertujuan untuk menyampaikan informasi tentang minimnya kepesertaan buruh/pekerja juga terumuskannya strategi bersama pemenuhan hak-hak BPJS Ketenagakerjaan khsusnya buruh perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara. Pada seminar ini  Umardin Lubis (Deputi  Direktur BPJS Sumbagut) turut memberikan kata sambutan. Seminar juga menhadirkan 3 narasumber yakni; Herwin Nasution, SH (Ketua Umum SERBUNDO), Budi Pramono (Asisten Deputi Bagian Pemasaran BPJS Ketenagakerjaan) dan Frans Bangun, SH (Disnaker Sumut). Moderator acara seminar yang berlangsung pada Senin, 11 Maret 2019 di Hotel Grand Antares Medan ini adalah Bapak Dr. Henri Sitorus, PhD yang merupakan akademisi dari Universitas Sumatera Utara. Peserta undangan yang hadir mewakili berbagai Serikat Buruh/Serikat Pekerja di Sumatera Utara, media massa juga perwakilan managemen perusahaan dari PT. Austindo Nusantara Jaya (ANJ) dan Wilmar Group.

Dari pemaparan makalah oleh para narasumber selanjutnya dilakukan pembahasan melalui tanya jawab dengan peserta seminar sehingga dapat diketahui bahwa permasalahan minimnya kepesertaan buruh perkebunan kelapa sawit pada program BPJS Ketenagakerjaan yakni;

  1. Minimnya sosialisasi tentang jaminan social yang dilakukan baik oleh BPJS, Perusahaan maupun Serikat Buruh tentang program BPJS termasuk program jaminan pensiun yang bertujuan untuk membuat pekerja pensiun dengan lebih bermartabat. Akan tetapi pihak managemen perusahaan belum semua mewujudkannya.
  2. Rendahnya kesadaran buruh dan pengusaha tentang BPJS Ditingkat buruh dinilai masih banyak terkendala tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang merupakan syarat administrasi untuk pendaftaran BPJS. Sementara dari pihak perusahaan masih banyak yang tidak menjalankan hak jaminan social kepada buruh/ pekerjanya sesuai ketentuan yang berlaku. Berdasarkan temuan Disnaker diketahui bahwa;
  • Perusahaan Daftar Sebagian (PDS) Tenaga Kerjanya yakni tidak semua buruh/ pekerja didaftarkan sebagai peserta BPJS, misalnya pekerja 100 orang namun yang didaftarkan hanya 20 orang.
  • Perusahaan Daftar Sebagian (PDS) Upah yakni buruh/ pekerja didaftarkan berdasarkan sebagian upah misalnya upah sebesar Rp. 5 juta yang dilaporkan hanya sebesar Upah Minimum Kabupaten/ Kota.
  • Perusahaan Daftar Sebagian (PDS) Program yakni buruh/ pekerja didaftarkan hanya sebagian program jaminan social saja. Misalnya hanya didaftarkan 2 program saja padahal BPJS Ketenagakerjaan memiliki 4 program jaminan social yakni Jaminan Kecelakaan Kerja (JK), Jaminan Kematian (JKm), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP).

Sementara BPJS mengalami kesulitan dalam hal sumber data jumlah buruh/ pekerja perkebunan kelapa sawit yang valid di Sumatera Utara. Sehingga upaya rekonsiliasi yang dilakukan di perkebunan seakan sulit tak tersentuh, seperti ada unit kerja yang double dan terkesan dipelihara.

  1. Instrumen hukum tentang BPJS Ketenagakerjaan ini sudah cukup memadai termasuk payung hukum untuk melakukan pengawasan dan penindakan hukum oleh BPJS Ketenagakerjaan. Peraturan tersebut adalah;
  • UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
  • UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 35 ayat (1) “Pemberi kerja dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja”. Pasal 99 “Setiap tenaga kerja berhak mendapatkan jaminan social tenaga kerja”. Pasal 86 “ setiap tenaga kerja berhak atas keselamatan dan kesehatan”. Pasal 87 “setiap perusahaan yang mempekerjakan 100 lebih tenaga kerja wajib menerapkan jaminan social tenaga kerja”.
  • UU No. 24 tahun 2011 sudah cukup tegas selain memberlakukan sanksi administrative berupa tegoran tertulis, denda dan tidak memberikan pelayanan public juga memberikan sanksi pidana yang cukup keras sesuai ketentuan pada pasal 55 bahwa “Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00.”

Akan tetapi menjadi permasalahan tersendiri dalam implementasi pengawasan dan penindakan sebab sampai hari ini ada keragu-raguan dari pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melakukan penegakkan hukum karena PP No. 88 tahun 2017 tentang Penegakkan Hukum di Indonesia dan Permenaker No. 4 tahun 2018 tentang Tata Cara Pengenaan dan Pencabutan Sanksi Administratif Tidak Mendapat Pelayanan Publik Tertentu Bagi Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara menegaskan pelaksanaannya harus “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Penindakan hukum sesuai ketentuan yang berlaku ini yang kemudian akan menjadi masalah terkait ketentuan mana yang berlaku yang bisa menjadi dasar hukum untuk melakukan penindakan. Sebab sanksi administrative, teguran tertulis dan atau denda kepada pemberi kerja selain penyelenggara negara dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan UU No. 24 tahun 2011 tentang BPJS.

UU No. 24 tahun 2011 tentang BPJS telah menjelaskan Standard Operasional Prosedur (SOP) bagian Pengawasan dan Pemeriksaan (Wasrik) BPJS bahwa “apabila ditemukan perusahaan tidak mengikutsertakan buruhnya pada BPJS Ketenagakerjaan, maka BPJS Ketenagakerjaan memberikan teguran, apabila perusahaan tidak mematuhi teguran tersebut maka BPJS Ketenagakerjaan dapat meminta Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan untuk melakukan pengawasan dan penindakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku”. Tahap penindakan ini yang sekarang mengalami perubahan dari sebelumnya diatur pada UU No. 3 tahun 92 tentang Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dimana ada ketentuan bahwa “pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dapat melakukan Low Enforcemen jika terjadi pelanggaran atas ketentuan Jaminan Sosial Tenaga Kerja ”.

Oleh karena itu sangat dibutuhkan sinergi antara BPJS Ketenagakerjaan petugas (Wasrik) dengan pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dalam melakukan mekanisme koordinasi untuk pelaksanaan pengawasan dan penindakan sanksi administrative dan pidana atas temuan pelanggaran peraturan BPJS Ketenagakerjaan khusunya di sector perkebunan kelapa sawit. Jika menyimak data Gapki tahun 2018 bahwa sector kelapa sawit telah menyumbangkan pendapatan devisa negara terbesar mencapai Rp. 298,61 triliun. Namun tidak sebanding dengan apa yang dialami oleh sebanyak 65 persen (13 Juta) merupakan Buruh Harian Lepas hidup miris tanpa perlindungan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Padalah mereka telah melakukan peran penting dan turut andil dalam pencapaian devisa negera tersebut.

Seminar ini menawarkan solusi yang telah dibahas bersama yakni melakukan sosialisasi, dialog sosial, pengawasan, monitoring serta penegakkan hukum BPJS Ketenagakerjaan yang dilaksanakan dengan melibatkan BPJS Ketenagakerjaan, Disnaker dan Serikat buruh. Sehingga dapat menjadi kekuatan bersama dalam menangani persoalan yang ditangani termasuk melakukan dialog dengan pihak perusahaan. Dengan tetap memberikan penekanan atas peran pemerintah khususnya Disnaker yang merupakan kunci dalam mengemban amanah pelaksanaan yuridiksi/ Tugas Pokok dan Fungsi (TUPOKSI) untuk melakukan pengawasan dan penindakan hukum. Dengan demikian BPJS dapat memberikan progress yang cukup signifikan dalam meningkatkan jumlah peserta buruh perkebunan kelapa sawit yang terdaftar sebagai peserta BPJS sehingga perlindungan bagi buruh dapat secara nyata.

Seminar penegakkan hukum BPJS Ketenagakerjaan adalah suatu energy dan MoU bersama antara BPJS Ketenagakerjaan KanWil Sumbagut dengan SERBUNDO adalah komitmen untuk sama-sama melakukan penegakkan hukum penyelenggaraan BPJS Ketenagakerjaan. Dengan harapan kedepan dapat terimplementasikan dengan baik khususnya di sector perkebunan kelapa sawit sehingga dapat menjadi model perlindungan yang dapat dikembangkan sector industry manufaktur. Upaya ini harus dilaksanakan dan dikawal bersama sehingga BPJS Ketenagakerjaan bisa termanivestasikan dalam bentuk perlindungan buruh dari bentuk-bentuk risiko kerja yang potensial terjadi. (NP)

Bagikan :