Minimnya informasi dan pendokumentasian kondisi buruh diperkebunan kelapa sawit membawa beberapa organisasi internasional untuk menelusurinya. Jarak yang jauh dan keterbatasan akses transportasi tidak menghalangi Rainforest Action Network (RAN) dan OPPUK menembus hamparan luas perkebunan kelapa sawit untuk mendapatkan gambaran kondisi buruh perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara.
Kontribusi Sumatera Utara terhadap perkembangan minyak sawit di Indonesia tidak dapat diabaikan. Komersialisasi minyak sawit yang dimulai sejak tahun 1911 terus mengalami peningkatan hingga saat ini. Bahkan keberadaan perkebunan kelapa sawit yang sebelumnya tidak banyak diketahui oleh masyarakat diluar Sumatera Utara, kini menjadi tolok ukur kekayaan masyarakat. Mudahnya administrasi pelepasan tanah dan tergiur oleh keuntungan yang akan diterima, membuat para investor dalam dan luar negeri dengan mudah mendapatkan tanah. Belum lagi perlindungan bagi investor yang disediakan oleh pemerintah memuluskan semua rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit yang baru.
Seiring dengan semakin banyaknya produk yang menggunakan minyak sawit, pohon kelapa sawit pun semakin banyak ditanam di seluruh nusantara. Meskipun demikian, hadirnya perkebunan kelapa sawit tidak serta merta memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi lebih dari 10 juta buruh (OPPUK, 2015). Buruh yang saat ini bekerja diperkebunan kelapa sawit merupakan keturunan ketiga dan keempat buruh dari Jawa yang bekerja pada jaman penjajahan Belanda maupun buruh yang didatangkan dari Nias, Batak maupun Melayu. Kampanye pemerintah bahwa hadirnya perkebunan kelapa sawit mengurangi jumlah penduduk miskin terbantahkan oleh hasil investigasi yang dilakukan oleh RAN dan OPPUK tersebut.
Investigasi di salah satu perkebunan kelapa sawit tertua di Sumatera Utara yang terletak di dua kabupaten berbeda milik perusahaan yang sama menunjukan bahwa buruh menerima upah lebih rendah dari yang telah ditetapkan pemerintah. Selain itu maraknya penggunaan buruh harian lepas dan kernet telah mengabaikan hak-hak buruh yang harus dipenuhi oleh pengusaha. Bahkan target kerja yang tinggi mendorong penggunaan buruh anak dan buruh yang tidak memiliki hubungan langsung dengan pengusaha. Kedua perkebunan tersebut juga menunjukan adanya perbedaan penerapan sistem kerja. Namun kedua kebun sama-sama menolak kehadiran serikat buruh independen.
Sekalipun investigasi dilakukan di 1 perusahaan perkebunan besar di dua Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai namun telah mampu menunjukan bahwa hak-hak buruh tidak dihormati di perkebunan kelapa sawit. Target kerja yang tinggi dan budaya feodalisme yang diperlihara membuat buruh tidak mampu menyuarakan ketidakadilan yang diterimanya. Pendidikan dan pengorganisiran buruh perkebunan kelapa sawit merupakan media untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan buruh tentang hak-haknya. Sedangkan dukungan dari organisasi local, nasional maupun internasional berguna untuk mempercepat terjadinya perubahan kebijakan yang berpihak kepada buruh perkebunan kelapa sawit.