Aksi turun ke jalan pada perayaan hari buruh Mah Day menjadi agenda rutin yang di lakukan APBD-SU setiap tahun. May Day adalah sebuah momentum yang tidak terlupakan yang lahir dari perjuangan keras klas buruh dalam memperjuangkan pengurangan jam kerja, dari 12 – 18 Jam kerja sehari menjadi 8 jam kerja. Puncak perjuangan aksi massa yang dikenal dengan tragedi Heymarket pada 1 Mei 1886 di Amerika Serikat saat itu, melibatkan 400.000 buruh. Aksi berlangsung hingga empat hari, parade besar-besaran buruh di respon oleh Polisi Amerika Serikat dengan tembakan dan kekerasan yang membabi buta. Pimpinan serikat buruh ditangkap dan dihukum mati, sementara ratusan buruh juga harus mati akibat kekejaman pemerintah AS. Untuk mengenang para buruh yang meninggal sebagai martir bagi perjuangan, yang hasilnya bisa dirasakan hingga saat ini. Tepatnya di tahun 1889, melalui kongres internasional Serikat Buruh di Paris, maka disepakati bahwa setiap tanggal 1 Mei ditetapkan menjadi hari buruh internasional atau May Day.
Saat ini buruh dalam momentum peringatan May day tahun 2019 ini, berada dalam momentum yang cukup spesial baik secara politik maupun ekonomi. Pertama, dipenghujung pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) serta pelaksanaan Pemilu 2019. Janji-Janji perubahan terus dikumandangkan para calon eksekutif dan legeslatif, serta didengung-dengungkan sebagai pesta demokrasi yang baik didunia. Kedua, May Day 2019 ini terselenggara menjelang Ramadhan serta hari raya Idul Fitri. Tentu hal ini ditandai dengan kenaikan harga-harga. Terutama harga transportasi publik untuk mudik, maupun harga kebutuhan pokok rakyat. Sementara Hak Tunjangan Hari Raya (THR) yang diterima oleh buruh, jauh dari kata cukup dalam memenuhi kebutuhan tersebut.
Sementara disatu sisi, buruh masih terperangkap dalam persoalan skema Politik Upah Murah. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) 78/2015 yang hakekatnya membatasi kenaikkan upah buruh pastilah sangat merugikan. Pemerintahan Jokowi-JK terus memperkuat sistem fleksibilitas ketenagakerjaan yang dianggap masih kurang menarik bagi investor. Persoalan sistim kerja Kontrak, Out Sourching dan Buruh Harian Lepas tetap berlangsung secara massif, yang membuat buruh dapat kehilangan hak atas pekerjaan dan masa depannya. Pemotongan upah buruh melalui premi BPJS serta adanya wacana pemerintah menaikkan premi BPJS tentulah kebijakan tersebut akan mengurangi pendapatan buruh, seharusnya pelayanan BPJS yang di tingkatkan bukan menambah iuran. Lain lagi persoalan lemahnya pengawasan ketenagakerjaan, yang membuat para pengusaha dengan mudah melanggar hak-hak buruh serta menciptakan PHK semena-mena dan tidak adanya jaminan perlindungan berserikat buruh.
Dalam praktik perburuhan di perkebunan sawit, banyak di temukan praktik yang memberatkan buruh. Pekerja perkebunan memiliki beban kerja jauh lebih berat daripada manufaktur. Penerapan beban kerja di perkebunan sawit dengan menerapkan tiga aspek, yakni, target tonase, luas lahan, dan jam kerja yang kesemuanya harus di selesaikan pada hari yang sama. Buruh perempuan acap kali mendapat diskriminasi. Kebanyakan perempuan bekerja dengan status BHL. Mereka biasa bekerja di bidang perawatan, pemupukan, penyemportan insektisida, pembrondol, dan lain-lain. Karena banyak bersinggungan dengan pestisida, kesehatan reproduksi buruh perempuan makin terancam. Perempuan masih terus mengalami kesulitan untuk mendapatkan hak-hak normatif mereka. Jaminan kesehatan, hak untuk mendapatkan cuti haid, cuti hamil, cuti melahirkan, cuti keguguran dan lain sebagainya. Meskipun hak-hak tersebut masih terbilang sangat minim, akan tetapi buruh perempuan masih kesulitan untuk mendapatkannya dari perusahaan. Walaupun ada regulasi yang mengatur ketenagakerjaan, seperti UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, namun UU ini dibuat berdasarkan kondisi pekerja sektor manufaktur dan gagal memberikan perlindungan pada buruh sawit. Karenanya mendesak di butuhkan UU yang memberikan jaminan perlindungan bagi buruh perkebunan kelapa sawit.