Belum lagi tantangan yang beragam; misalnya cuaca dan jarak tempuh kebun yang akan dikerjakan, menyebabkan buruh mengalami “siksaan” walau belum melakukan kesalahan apapun. Misalnya, karena hujan dan tidak bisa turun ke lahan buruh harus mengganti hari kerjanya dengan hari lain seperti hari libur (Minggu) yang tidak dianggap lembur. Buruh juga terpaksa harus membayar orang lain (kernet) untuk membantunya agar target kerja terpenuhi. Atau ikut mempekerjakan istri atau anak-anaknya tanpa mendapatkan bayaran apapun dari pihak kebun. Mana ada kesulitan semacam itu yang dirasakan buruh di sektor industri.
Sebagai pekerja sangat sulit bagi buruh perkebunan mendapatkan status permanen atau SKU. Kendati telah mengabdi selama belasan tahun. Mereka tetap diperlakukan sebagai buruh harian lepas atau BHL yang tidak memiliki kepastian ikatan kerja. Situasi keterisoliran mendatangkan kemudahan bagi perusahaan untuk mendapatkan pekerja dari keluarga buruh yakni anak-anak atau istri mereka. Ada tiga kategori jenis BHL; kontrak permanen (tahunan), kontrak borongan (semi permanen), dan outsourcing. Ketiganya memiliki durasi kerja berbeda setiap harinya. Kesamaannya, sama-sama tidak memperoleh jaminan sosial.
Dengan sistem kerja yang secara mutlak menguntungkan perusahaan, turunannya bermacam kesulitan atau situasi memberatkan lainnya menimpa buruh. Hak-hak normatif buruh tidak dipedulikan.
Diantaranya, tidak dikenal yang namanya upah atau kompensasi lembur. Yang ada adalah premi. Nilainya dihitung dari kelebihan pencapaian target. Bukan kelebihan waktu kerja. Peralatan kerja berupa egrek, angkong, sepatu, helm, sarung tangan, dan sebagainya, perusahaan tidak menyediakan atau melengkapi. Masing-masing buruh yang melengkapi diri sendiri, demi menghindari kecelakaan kerja. Di titik ini buruh seakan-akan pemilik kebun, menyediakan penunjang kerja tetapi hasilnya untuk majikan.
Perumahan yang sudah selayaknya disediakan perusahaan bagi buruh, sangat jauh dari kata layak. Sanitasi yang buruk, listrik yang dibatasi hanya beberapa jam perhari, air yang tidak memenuhi syarat kesehatan, itulah yang diberikan. Rumah tidak lebih hanya merupakan alat kontrol bahwa buruh tidak pergi kemana-mana.
Tentu mendirikan serikat buruh yang murni muncul dari keinginan untuk meningkatkan posisi tawar dengan perusahaan merupakan sesuatu yang hampir tidak mungkin. Pihak perusahaan sudah menyediakan serikat pekerja bagi buruh. Yang selama ini berdiri adalah SP BUN untuk BUMN, SPSI untuk perkebunan swasta, atau serikat yang secara sengaja dibentuk perusahaan yang dalam hal ini seluruh buruh diklaim sebagai anggotanya sekalipun tidak pernah mendaftar. Kendalinya ada di bawah manajemen perusahaan. Tidak ada yang bisa keluar dari kehendak mereka.
Walaupun UU No. 21/2000 menjamin kebebasan buruh mendirikan serikat, nyaris mustahil bagi pekerja kebun bisa membentuk organisasi yang independen. Yang berani melawan, imbalannya beragam bentuk intimidasi (termasuk kepada keluarga). Mulai dari mutasi, pemecatan dan kriminalisasi. Sangat sering petaka semacam itu dialami buruh yang nekat mendirikan serikat di luar kehendak perusahaan. Perjanjian Kerja Bersama yang mengatur mekanisme penyelesaian sengketa antara buruh dengan perusahaan, tidak sekalipun melibatkan buruh dalam penyusunannya. Mereka dipaksa menerima buatan perusahaan yang bersumber dari Badan Kerjasama Perusahaan Perkebunan Sumatera (BKS-PPS).
Dalam kondisi terisolir sudah pasti kondisi-kondisi menyakitkan yang dialami buruh tidak terdengar oleh pihak luar. Masyarakat umum maupun pemerintah. Dengan demikian tidak ada yang menyebarluaskannya agar menjadi kepedulian banyak pihak.
Khusus bagi pemerintah yang merupakan kewajibannya menegakkan hukum demi melindungi buruh, bisa dikatakan jauh panggang dari api bila berharap mereka bertindak pro-aktif. Pengaduan-pengaduan yang disampaikan kepada pemerintah sering tidak berarti apa-apa agar kesejahteraan atau perlakuan kepada buruh membaik.
C. Perbaikan Kondisi Buruh di era Pemerintahan Jokowi
Bersama seluruh buruh perkebunan di Indonesia yang hidupnya saat ini masih jauh dari situasi sejahtera dan nyaman dalam bekerja, OPPUK berkomitmen agar pada 2016 mendatang terjadi berbagai perbaikan. Lahirnya kebijakan atau peraturan pemerintah yang melindungi buruh secara spesifik (terpisah dari UU perburuhan yang banyak berbicara soal buruh di sektor industri), kebebasan berserikat dalam arti sesungguhnya, status ikatan kerja yang pasti, hak-hak normatif yang terlindungi, fasilitas perumahan yang layak dan manusiawi, peralatan pendukung kerja yang disediakan perusahaan, serta Perjanjian Kerja Bersama yang dibuat secara bersama-sama antara buruh dengan perusahaan.
Keinginan untuk mewujudkan perbaikan-perbaikan di atas sangat terkait dengan kehendak Presiden Joko Widodo yakni mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Perbaikan kondisi kehidupan buruh perkebunan akan dicapai dengan jalan berikut.
- Mendorong pemerintah agar melahirkan sebuah protokol dan kebijakan tentang perlindungan buruh di sektor perkebunan.
- Memberikan kebebasan berorganisasi kepada buruh untuk membentuk dan menguatkan Serikat Buruh Perkebunan kelapa sawit di seluruh Indonesia.
- Mendorong pemerintah agar meratifikasi Konvensi ILO tentang buruh perkebunan dengan menerbitkan kebijakan atau peraturan yang menjadi turunannya.
- Memastikan kondisi kerja yang layak sesuai dengan prinsip-prinsip dan Hak Dasar Kerja ILO dan memenuhi aspek kesehatan dan keselamatan kerja, juga berkomitmen terhadap jam kerja yang wajar dan kemajuan ke arah upah yang layak (living wage).
- Melakukan perekrutan kerja secara etis dengan memberikan jaminan akan adanya akses keluhan dan keterlibatan pemangku kepentingan yang sesuai dengan standard hak asasi manusia yang diakui secara Internasional, juga berkomitmen pengungkapan/disklosur yang tegas pada semua proses yang berjalan di perkebunan secara transparan dan akuntabilitas.
- Menghentikan praktik kerja paksa, perdagangan manusia dan pekerja anak untuk menghindari pengusaha dari kerugian material dan finansial akibat gugatan dari konsumen, juga dikeluarkan dari pasar internasional.
- Mendesak agar institusi RSPO untuk tidak begitu mudah menerbitkan sertifikat tentang kwalitas produk CPO bagi perusahaan perkebunan anggotanya. Harus ada rekomendasi dari NGO dan serikat buruh yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit.