“Indofood, Produsen Tunggal PepsiCo di Indonesia Gagal Memenuhi Hak Buruh”

Launching Laporan Investigasi dan Konfrensi Pers “Indofood, Produsen Tunggal PepsiCo di Indonesia Gagal Memenuhi Hak Buruh” dilakukan di Medan pada tanggal 9 Juni di Hotel Grand Antares. Kegiatan ini dilakukan untuk menyampaikan hasil investigasi yang telah dilakukan oleh OPPUK (Organisasi Penguatan dan Pengembangan Usaha-Usaha Kerakyatan) bersama dengan RAN (Rainforest Action Network) dan ILRF (International Labour Right Forum) di dua perusahaan perkebunan milik Indofood di dua Kabupaten di Sumatera Utara. Temuan kunci investigasi adalah buruh kontrak yang haknya diabaikan, tidak dibayarkannya upah hidup layak, penggunaan tenaga kerja anak akibat penetapan target kerja yang tinggi, tidak tersedianya perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja yang memadai juga PT. PP. Lonsum, Tbk tidak memenuhi kewajibannya menghormati kebebasan berserikat.

Launching Laporan Investigasi dan Konfrensi Pers di ikuti  oleh  Organisasi Penguatan dan pengembangan Usaha-Usaha Kerakyatan, Komnas Perempuan, Komnas Anak,  Dinas Tenaga Kerja Sumatera Utara, Akademisi Universitas HKBP Nomensen, Pusat HAM Unimed, Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Federasi Serikat Pekerja Metal Sumut F-SPMI, Serikat Buruh Perkebunan Indonesia-SERBUNDO,  Serikat Buruh Medan Independen Sumut, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Koordinator Tembus, LBH Pers, LBH Medan, Sentra Keadilan, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat Sumatera Utara, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia, Sawit Watch, Metro TV, TV One, MNC Group, El-Shinta FM, Amatinews.com, Utamanews.com, Menaranews.com, Metro 24, Medan Bisnis, Sumut Pos, Analisa, Kompas, Pemerhati Buruh, Rainforest Action Netwrok, International Union Food dengan jumlah peserta sebanyak 57 orang terdiri dari 9 orang perempuan dan 48 orang laki-laki. Tujuan kegiatan ini adalah untuk membangun komitmen dan solidaritas organisasi masyarakat sipil dan serikat buruh di Indonesia dan Amerika untuk mendukung kampanye perbaikan kondisi buruh kelapa sawit di PT. PP. Lonsum, Tbk, serta membangun pemahaman publik atas kondisi kehidupan dan kerja buruh perkebunan kelapa sawit pada umumnya, secara khusus buruh di PT. PP. Lonsum, Tbk. Kesaksian dan bukti-bukti pendukung pelanggaran hak buruh oleh PT. PP. Lonsum, Tbk akan digunakan sebagai bahan kampanye perbaikan kondisi buruh perkebunan kelapa sawit baik ditingkat nasional dan internasional.

Kegiatan workshop diawali dengan pembukaan oleh panitia Renata Shandi dari OPPUK (Organisasi Penguatan dan Perjuangan Untuk Kerakyatan) yang mengatakan  kegiatan ini merupakan rangkaian kegiatan serupa yang telah dilaksanakan oleh RAN dan ILRF (International Labour Right Forum) di San Fransisco Amerika Serikat satu hari sebelumnya. Marthin Simangunsong, SH, MH (Dekan Fakultas Hukum Universitas HKBP Nomensen) yang bertindak selaku moderator. Dalam pembukaannya moderator menyampaikan bahwa sangat percaya kepada OPPUK yang telah lama bergelut dalam bidang perburuhan yang sebelumnya juga telah mengenal betul Herwin Nasution, SH selaku Direktur Eksekutif OPPUK. Ketika OPPUK datang ke Kampus Nomensen untuk melakukan kerjasama terhadap laporan hasil Investigasi Kondisi Buruh Perkebunan Kelapa Sawit, ia langsung setuju untuk terlibat dalam kegiatan ini. Marthin juga menyampaikan bahwa harusnya kita semua berterimakasih kepada OPPUK dari hasil investigasinya telah memberikan gambaran tentang kondisi buruh perkebunan, walaupun judul laporan itu terlihat seram yaitu Korban Minyak Sawit yang Bermasalah, Indofood: Peran Terselubung Pepsi Co Terhadap Eksploitasi Buruh di Indonesia, namun isi laporan tersebut menggambarkan kondisi buruh sebenarnya di perkebunan kelapa sawit.

Investigasi yang di lakukan dilatarbelakangi oleh minimnya kampanye internasional maupun di Indonesia yang mengangkat isu buruh perkebunan sebagai bagian dari permasalahan kelapa sawit global. Kampanye tentang isu buruh perkebunan kelapa sawit telah di mulai oleh RAN dengan tema Snack Food 20 di Amerika Serikat. PepsiCo sebagai mitra bisnis Indofood diidentifikasi sebagai “laggard” dimana  kebijakan terbaru PepsiCo tidak berlaku untuk pemasoknya di Indonesia. Investigasi di perkebunan kelapa sawit yang merupakan rantai pasok PepsiCo menunjukkan gap (perbedaan) dari tanggungjawab Pepsico dan rantai pasoknya di Indonesia.

Investigasi dilakukan di dua perkebunan milik Indofood di Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai dengan melibatkan 41 orang buruh yang bekerja di bagian pemanen, tukang berondol, kernet, transportasi, security, perawatan dan pabrik kelapa sawit. Dengan menggunakan metode wawancara  langsung dengan responden,  Focus Group Discussion, observasi lapangan serta pemeriksaan dokumen, menunjukkan telah terjadi dugaan praktek pelanggaran terhadap aturan hukum di Indonesia dan juga pelanggaran terhadap hukum (konvensi) internasional. Adapun beberapa temuan  dari hasil investigasi ini antara lain :

  1. Buruh Indofood yang telah bekerja untuk jangka waktu yang lama dikategorikan sebagai buruh temporer dan ditempatkan pada pekerjaan berisiko tinggi melalui praktik kerja yang rentan dan berbahaya (Precarious Work).
  2. Upah buruh Indofood yang tidak layak.
  3. Anak-anak ditemukan bekerja di perkebunan Indofood.
  4. Kebanyakan buruh Indofood tidak mendapatkan perlindungan kesehatan dan keselamatan yang memadai, serta BHL perawatan bekerja menggunakan pestisida yang sangat berbahaya.
  5. Indofood tidak menghormati kebebasan berserikat.

Dalam Kertas Posisi yang berjudul “Potret Buram Buruh Perkebunan Sawit: Pelanggaran HAM Yang Tersembunyi ” Hasil Investigasi Independen Masyarakat Sipil di Perkebunan Sawit di PT PP London Sumatera Tbk. Bahrain dari YLBHI Jakarta  mengatakan sedikitnya ada pelanggaran terhadap 24 (dua puluh empat) ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan, 7 (tujuh) ketentuan dalam instrumen Hak Asasi Manusia, dan 4 (empat) ketentuan dalam Konvensi ILO, yang diakibatkan oleh praktik kerja buruh di PT. PP London Sumatra Tbk. Yang menjadi catatan khusus adalah, belum terakomodasinya 2 (dua) isu spesifik dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, maupun instrumen HAM dan Konvensi ILO yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Yakni, mengenai perlindungan terhadap penggunaan pestisida beracun dan pelibatan keluarga (anak dan istri) secara paksa.

Berdasarkan fakta, data dan informasi hasil investigasi  setidaknya dapat ditarik 3 (tiga) kesimpulan utama, yakni, pertama, banyak terjadi pelanggaran hak-hak dasar buruh, dalam kurun waktu yang lama, akibat praktik kerja yang diterapkan di 2 (dua) perkebunan milik PT. PP London Sumatra Tbk, yaitu perkebunan Begerpang dan perkebunan Sei Rampah. Pelanggaran hak buruh tersebut mencakup pelanggaran hak normatif seperti upah layak; hak atas perlindungan di tempat kerja; hak atas jaminan kesehatan dan sosial; hak atas hubungan kerja yang jelas dan hak kebebasan berserikat, serta perlindungan anak.  Kedua, tidak semua permasalahan buruh di perkebunan sawit telah diatur dan terakomodasi secara spesifik oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, bahkan termasuk juga konvensi ILO yang telah diratifikasi oleh Indonesia, misalnya mengenai buruh kernet.  Ketiga, terjadinya pelanggaran hak dasar buruh di perkebunan sawit selama puluhan tahun yang nyaris tidak terjamah oleh hukum ini juga menjadi bukti nyata lemahnya sistem pengawasan Pemerintah terhadap perusahaan yang berdampak pada lemahnya perlindungan hak buruh.

Magdalena Sitorus dari Komnas Perempuan Indonesia memberikan catatan atas hasil investigasi  OPPUK tentang kondisi buruh perempuan adalah  perusahaan tidak bisa melakukan apa-apa  tanpa ada buruh. Pada posisi  itu buruh memiliki  kekuatan.  Kebutuhan perempuan juga berbeda dengan laki-laki tetapi bukan berarti boleh diskriminasi. Jika tidak ada cuti hamil, haid atau jaminan kesehatan itupun sudah ada UU tetapi tidak dilaksanakan. Itu terletak pada good political will perusahaan. Apa yang bisa dilakukan Komnas Perempuan dalam konteks pemenuhan dan penegakan hukum bisa menjalankan secara bersama-sana. Menggunakan peran dan fungsi masing-masing lembaga dan bekerjasama dengan masyarakat sipil.

Terhadap kondisi kerja, pengupahan untuk buruh perempuan dalam hal ini negara harus hadir karena  pelakunya bisa individu atau masyarakat. Perempuan seringkali mengalami kekerasan yang berlapis mulai  dari ranah domestik sampai ranah publik. Tidak terpenuhinya hak ekosob (ekonomi sosial budaya),  akses terhadap pendidikan, fasilitas  kesehatan dan  ruang kerja. Buruh perempuan membutuhkan ruang  keadilan, mereka harus berbicara dan butuh pendampingan.

Atas hasil invenstigasi yang dilakukan oleh OPPUK dan RAN Arist Merdeka Sirait dari  Komnas  Anak adanya pelibatan buruh anak dalam produksinya. Indofood sebenarnya punya kode etik seperti Indofood atau Pepsi Co harus menjunjung tinggi nilai-nilai Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang didalamnya adalah melarang atau tidak memberikan akses terhadap anak dalam proses produksinya. Kedua adanya pelanggaran kebebasan berserikat, mengakui buruh kontrak ataupun tidak ada kerja paksa ataupun lembur paksa.

Bahwa sebenarnya telah terjadi pelanggaran HAM  dalam konteks buruh anak. Kedua,  ada pelanggaran kode etik dalam konvesi perburuhan yaitu melarang anak bekerja dalam situasi buruk dalam kelapa sawit (The was force of chil labour) atau industri sebagaimana yang tercantum dalam Konvensi ILO No. 182. Ketiga, pelangaran terhadap  Undang-Undang No. 35 tahun 2004 tentang Perlindungan Anak. Bahwa statement Indofood, pekerja anak itu budaya itu sudah melanggar UU yang tidak memberikan perlindungan terhadap anak  dan juga melanggar UU Ketenagakerjaan, bukan anak yang di larang tetapi koorporasinya. Keempat, telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 3  tahun 1999 Tentang HAM (Hak Asasi Manusia) dimana tidak ada pembenaran bahwa anak-anak di perbolehkan bekerja kemudian  telah terjadi eksploitasi terhadap anak dan hal ini  tidak terbantahkan oleh perusahaan Indofood. Anak-anak yang di pekerjakan dengan sebutan kernet atau apa walaupun itu tidak di laporkan oleh perusahaan untuk membantu orang dewasa dalam  mencapai target itu di sebut sebagai hubungan kerja.  Bahwa apa yang disampaikan oleh OPPUK itu benar  berdasarkan hasil investigasinya bukan sekedar  kampanye untuk mengkritik.

Sementara Fransisco Bangun Kepala Bidang Pengawas  Disnakertrans Propinsi Sumatera Utara mengatakan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 ada 193 pasal, 100 pasal tentang pelatihan dan penempatan tenaga kerja , 50 pasal tentang hubungan industrial,  40 pasal tentang pengawasan.  Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), perempuan  dan anak sudah tercantum dalam UUK.  Hak reproduktif perempuan juga di atur dalam UUK seperti hamil, cuti haid, melahirkan dan menyusui. Secara tegas sudah di atur kalau di langgar ada sanksi hukumnya.

Mengenai buruh anak, dalam UUK ada 8 pasal khsusus tentang anak, secara tegas di katakan anak di larang bekerja di bawah umur 18 tahun. Mengenai anak ada dua jenis yaitu pekerja anak yang sering disebut child labour dan anak yang bekerja atau child worker. Anak yang bekerja itu masalah budaya supaya kita suatu saat bisa mandiri dan kita pernah melakukannya agar anak punya jatidiri dan kemandirian. Berbeda dengan pekerja anak, apalagi pada bentuk pekerjaan terburuk. Dalam Peraturan  Presiden No. 59 tahun 2005 ada 13 bentuk-bentuk pekerjaan yang di larang pada anak.    Dalam  Konvensi ILO No. 138  mengenai Batas Usia Minimum Anak Tidak Boleh Bekeja, dan Konvensi ILO No. 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Anak Tidak Boleh Bekerja pada Bentuk Pekerjaan Terburuk.

Mengenai K3, secara normatif  sudah di atur dalam UU No.1 tahun 1970 70 tentang Keselamatan Kerja dan juga dalam UU Ketenagakerjaan sudah diatur. Ada tiga tujuan K3, pertama agar tenaga kerja sehat dan selamat dalam bekerja. Kedua,  agar setiap orang yang bekerja sehat dan selamat dan ketiga, agar setiap orang meniliki daya saing. Kemudian ada lima cara mencegah terjadinya kecelakaan kerja yaitu  substitusi, eliminasi, tehnis, adminisitratif dan  alat pelindung diri, dalam aturan secara tegas dan tuntas sudah di atur. Disnaker  setuju dan sepakat bahwa masih banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di perkebunan kelapa sawit.

Megenai upah, dalam konteks buruh perkebunan tidak mengacu pada UMK atau UMSK. Di perkebunan ada istilah BKSPPS (Badan Kerjasama Perusahaan Perkebunan Sumatera) yang membuat upah  berdasarkan kesepakatan. Tetapi terkadang kesepakatan ini tidak sesuai dengan UU Ketenagakerjaan. Padahal dalam Pasal  1338 KUHPerdata kesepakatan di buat secara sah bagi mereka yang membuatnya tetapi dengan syarat  tidak boleh bertentangan kepentingan umum dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Disnakertrans mengatakan bahwa kesepakatan BKSPPS itu dapat di batalkan atau batal demi hukum.

Dari hasil temuan tersebut, dikeluarkan beberapa rekomendasi baik kepada Indofood, Pepsi Co, pelanggan dan pemodal lainnya, Pemerintah serta kepada Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO).  Rekomendasi Kepada Indofood : Menegakkan Konvensi Inti Organisasi Buruh International (ILO); Mempekerjakan dengan etis dan mempekerjakan dengan bertanggung jawab; Menetapkan target produksi, jam kerja dan hak cuti yang proporsional; Membayarkan upah hidup (layak); Memprioritaskan kesehatan dan keselamatan pekerja serta kesejahteraan pekerja beserta keluarganya; Menjamin akses terhadap pemulihan; Berkomitmen terhadap uji tuntas (due diligence), transparansi dan pengungkapan kebijakan, prosedur, dan data hak asasi manusia yang berfokus pada tenaga kerja dan pekerjaan.

Rekomendasi kepada PepsiCo, Pelanggan dan Pemodal lainnya: Meminta Indofood untuk segera melakukan investigasi dan memperbaiki pelanggaran hak-hak buruh yang diuraikan dalam laporan ini; Meminta Indofood untuk menyelesaikan kasus-kasus Minyak Sawit yang Bermasalah lainnya yang belum terselesaikan; Meminta Indofood menerapkan dan melaksanakan kebijakan minyak sawit bertanggung jawab.

Rekomendasi Kepada Pemerintah yaitu Menetapkan Undang-Undang ketenagakerjaan khusus untuk melindungi buruh perkebunan kelapa sawit, yang mengatur: Non diskriminasi terhadap suku bangsa atau jenis kelamin; Menaikkan upah harian dan borongan agar sesuai dengan ketentuan upah minimum yang berlaku dan memastikan upah yang diterima buruh mencukupi untuk kebutuhan hidup diperkebunan bagi buruh dan keluarganya; dan Memberikan tunjangan perumahan, pendidikan, kesehatan, keselamatan, cacat, ibu hamil dan pension untuk buruh BHL, borongan atau pun buruh yang tak berstatus.

Rekomendasi Kepada RSPO : RSPO mewajibkan PT. Lonsum milik Indofood untuk melakukan investigasi secara terbuka terhadap persoalan-persoalan yang diangkat dalam laporan ini; RSPO mewajibkan PT. Lonsum milik Indofood untuk dengan segera mematuhi Prinsip dan Kriteria RSPO; RSPO menangguhkan keanggotaan PT. Lonsum hingga PT. Lonsum dan Salim Ivomas menyelesaikan persoalan yang diuraikan dalam laporan ini.

Setelah penutupan acara launching Laporan investigasi, Herwin Nasution, SH selaku juru bicara tim investigasi melakukan konfrensi pers bersama beberapa media cetak, media online maupun media ekektronik. Dalam konfrensi pers tersebut, Herwin Nasution menyampaikan beberapa point investigasi untuk memperkuat apa yang sudah disampaikan sebelumnya dalam paparan pada saat launching.

Bagikan :