PKB adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan pihak Pengusaha. Syaratnya harus ada serikat pekerja/serikat buruh dan telah tercatat di Dinas Tenaga Kerja Kabupaten setempat berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan memenuhi persyaratan pembuatan PKB sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sebuah perusahaan tidak bisa membuat PKB jika tidak ada serikat pekerja/serikat buruh, begitu juga serikat pekerja/serikat buruh tidak dapat membuat PKB dengan perusahaan jika belum tercatat di Dinas Tenaga Kerja Kabupaten setempat.
Dalam pemaparannya, fasilitator menyampaikan bahwa ada tiga bentuk PKB antara lain PKB Induk, PKB Grup dan PKB Tunggal. PKB Induk yaitu PKB yang memuat ketentuan-ketentuan yang berlaku umum di seluruh cabang/unit kerja/perwakilan perusahaan dan PKB turunan memuat pelaksanaan PKB induk yang disesuaikan dengan kondisi cabang/unit kerja/perwakilan perusahaan masing-masing .
PKB Grup yaitu dalam hal beberapa perusahaan tergabung dalam 1 (satu) grup dan masing-masing perusahaan merupakan badan hukum sendiri-sendiri, maka PKB dibuat dan dirundingkan oleh masing-masing pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh masing-masing.
PKB Tunggal dibuat jika sebuah perusahaan memiliki badan hukum sendiri memiliki 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, maka PKB dibuat dan dirundingkan oleh perusahaan dan serikat pekerja/serikat buruh tersebut.
Lebih lanjut, fasilitator menjelaskan tentang pihak pihak yang berwenang membuat PKB yaitu
- Jika dalam satu perusahaan hanya terdapat 1 (satu) SP/SB, maka SP/SB berhak mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan PKB dengan pengusaha apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
- Jika dalam satu perusahaan hanya terdapat 1 (satu) SP/SB tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh, makas SP/SB dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan dengan pengusaha apabila SP/SB yang bersangkutan telah mendapat dukungan lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh melalui pemungutan suara.
- Jika dalam 1 (satu) perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) SP/SB, maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan pengusaha jumlah kenaggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
- Jika dalam 1 (satu) perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, maka serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili pekerja/buruh dalam melakukan perundingan dengan pengusaha adalah maksimal 3 (tiga) serikat pekerja/serikat buruh yang masing-masing anggotanya minimal 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan.
- Koalisi antar SP/SB sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh dalam 1 (satu) perusahaan, dalam hal di 1 (satu) perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) SP/SB dimana jumlah anggotanya tidak ada yang melebihi 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh. Jika Koalisi tidak terbentuk para SP/SB dapat membentuk Tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing SP/SB.
Fasilitator juga menjelaskan bahwa berdasarkan Pasal 24 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2014, PKB sekurang-kurangnya harus memuat atau mengukur hal hal berikut:
- Nama, tempat kedudukan serta alamat serikat pekerja/serikat buruh;
- Nama, tempat kedudukan serta alamat perusahaan;
- Nomor serta tanggal pencatatan serikat pekerja/serikat buruh pada instansi pemerintah (SKPD) bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota;
- Hak dan kewajiban pengusaha;
- Hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
- Jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya PKB; dan
- Tanda tangan para pihak pembuat PKB.
Diakhir pemaparan materinya, Herwin Nasution, SH menyampaikan bahwa hak hak buruh yang bersifat normatif sudah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. PKB antara serikat buruh dengan pihak pengusaha, kualitasnya harus lebih baik dari Undang-Undang. Hak-hak buruh yang tidak diperoleh dari Undang-Undang harus dinegosisasikan dengan pihak perusahaan melalui PKB, baik ditingkat bipartit maupun tripartit yakni melibatkan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) setempat.
Herwin Nasution, SH juga menegaskan bahwa sampai saat ini, belum ada Undang-Undang yang secara khusus mengatur tentang sistem kerja dan perlindungan hak-hak bagi buruh perkebunan. Undang-undang yang digunakan masih mengadopsi UU No.13 tahun 2003 yang mengatur hubungan kerja antara pengusaha dengan buruh industri manufaktur. Oleh karenanya, sangat penting bagi serikat buruh perkebunan membuat PKB yang mengatur sistem kerja dan melindungi hak-hak buruh perkebunan khususnya buruh perkebunan kelapa sawit.
Setelah pemaparan materi, selanjutnya fasilitator memandu proses diskusi bersama peserta membahas sistem kerja, pengupahan, perlindungan hak dan pelaksanaan kewajiban buruh dan pengusaha di perusahaan masing-masing peserta. Selesai proses diskusi, peserta membentuk kelompok diskusi dan membahas konsep perjanjian kerja bersama. Hasil diskusi kelompok selanjutnya dipresentasikan oleh masing-masing perwakilan kelompok dan dibahas bersama oleh anggota kelompok lain. Dari proses pembahasan hasil diskusi kelompok, diperoleh data-data dan informasi yang dapat digunakan untuk merumuskan konsep Perjanjian Kerja Bersama untuk ditindaklanjuti dalam perundingan di tingkat Bipartid dan Tripartit.