A. Pendahuluan

Mencermati usaha di sektor perkebunan kelapa sawit yang menggiurkan dan seksi, menyebabkan pemilik modal terpikat berinvestasi; PMDN (domestik) maupun PMA (internasional). Kian hari, semakin banyak lahan yang terbuka untuk ditanami komoditi yang peminatnya di dunia sangat tinggi ini. Antara hutan yang peruntukannya berubah dengan lahan pertanian yang beralih fungsi, keduanya secara signifikan memperluas areal perkebunan kelapa sawit dari waktu ke waktu. Hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Tak cuma di Provinsi Sumatera Utara yang sudah sejak lama dikenal identik dengan perkebunan sawit.

Menurut sebuah catatan, berawal pada 1911 di satu kabupaten, tepatnya Deli Serdang, disanalah kelapa sawit dikembangkan untuk tujuan bisnis atau komersil. Seorang berkewarnegaraan Belgia, Adrien Hallet, yang melakukannya. Itulah cikal bakal yang kemudian (setelah 103 tahun) menjadikan kelapa sawit Indonesia primadona di pasar global.

Satu kebijakan yang terbilang sangat penting oleh pemerintah Indonesia (2011) bagi lompatan kemajuan ekonomi di masa depan adalah diwujudkannya Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Salah satu konsep pembangunan yang dituangkan di dalam program ini adalah pelaksanaan proyek-proyek pendukung hilirisasi sawit di Sumatera Utara. Untuk itu akan berdiri Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei di atas tanah seluas 2000 Ha lebih. Berbagai fasilitas pendukung terintegrasi dengan pabrik-pabrik pengolahan CPO yang nyaris tanpa kesulitan bila hendak diboyong ke negara-negara tujuan ekspor.

Demikian komitmen pemerintah agar industri CPO dipermudah rangkaian prosesnya dari hulu sampai ke hilir sehingga sebesar mungkin investasi masuk dan devisa dihasilkan. Berbagai keleluasaan dan kemudahan disediakan bagi kalangan pemilik modal khususnya sektor perkebunan kelapa sawit. Akibatnya, kalau saat ini disebutkan terjadi pertambahan luas lahan perkebunan rata-rata 315.000 Ha pertahun, berkat adanya MP3EI jauh akan lebih besar lagi.

Oleh sebab itu luas sekitar 18 juta Ha keseluruhan perkebunan yang kini dijalankan, niscaya akan berlipat ganda secara pesat. Tak cuma di Sumatera Utara, tetapi juga di Sulawesi, Kalimantan, dan Papua.  (MP3EI-Master Plan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia, hal. 136)

Sayangnya kemudahan yang ditawarkan bagi para investor perkebunan sawit amat berbanding terbalik dengan situasi yang dialami buruh. Dari sekitar 1.601 perusahaan perkebunan sawit yang saat ini berbisnis di Indonesia (BPS), berdasarkan data OPPUK, sebanyak 10 juta buruh yang dipekerjakan di Perkebunan Kelapa Sawit. Terbagi-bagi di kebun-kebun swasta yang luasnya mencapai kurang lebih 57%, negara semacam PTPN II (30%) dan kebun rakyat (13%) (MP3EI-Master Plan Percepatan dan Perluasan Krisisi Sosial-Ekologis Indonesia, hal. 138). Umumnya di wilayah-wilayah yang sulit dijangkau akibat terisolir. Jauh di pedesaan. Tak semudah di perkotaan yang tidak pernah kekurangan sarana transportasi.

Buruh kebun yang dimaksud di sini adalah mereka yang bekerja di layer (level) terbawah. Selama ini di seluruh perusahaan perkebunan dikenal struktur atau hirarki kerja yang berlapis mulai dari yang tertinggi sampai paling rendah. General Manager sebagai pimpinan kebun duduk di layer tertinggi. Di urutan berikutnya diisi manager, asisten kepala, mandor I dan kerani (bagian administrasi), mandor dan selanjutnya buruh.

Mereka yang berstatus buruh inilah yang disebutkan kondisinya sangat jauh dari kata sejahtera. Buruh sebagaimana dipraktikkan hingga sekarang, terbagi dalam tiga kategori; karyawan harian tetap alias KHT (SKU-Syarat Kerja Umum), karyawan harian borongan (KHB), dan buruh harian lepas (BHL). Buruh biasanya bekerja di lapangan sebagai pemanen, transportasi dan bongkar muat, perawatan. Perawatan bekerja pada bidang; pemupukan, penyemprotan, memiringi, membabat, dan perbaikan jalan berlobang.

B. Situasi Perjuangan Buruh Perkebunan

Dalam kondisi yang sangat jauh dari kota, khususnya pusat-pusat pemerintahan, 10 juta buruh yang bekerja di perkebunan kelapa sawit terisolir dari masyarakat lainnya. Atau teralienasi. Sarana transportasi yang nyaris tidak ada, dipersulit lagi dengan akses teknologi informasi yang tidak terjangkau. Kedua kesulitan itu mempermudah pihak manajemen kebun berlaku seenaknya. Hampir pasti buruh tidak akan melakukan perlawanan walau seberat apapun tekanan yang mereka alami. Jauh sekali perbedaannya dengan buruh di sektor industri yang setiap saat bisa mengadu kepada siapa saja.

Dimulai dari sistem kerja. Umumnya di perkebunan pekerjaan para buruh berbasis jam kerja dan basis borong yang seluruhnya berimplikasi hukuman denda. Setiap kesalahan, disengaja atau tidak, ada bayarannya. Untuk pemanen maupun perawatan. Untuk masing-masing kesalahan terdapat formula penghitungan denda yang wajib dikenakan bagi setiap buruh yang melakukan “dosa”. Misalnya berondol tertinggal, tidak membuat cangkam kodok, tidak mencabut tunas sebanyak 120 batang, tidak mengangkat buah ke TPH, mengambil buah mentah, buah tertinggal di pokok, terlambat apel pagi, dan sebagainya, masing-masing dikenai sanksi denda dalam jumlah berbeda. Konsekwensinya upah yang tidak seberapa menjadi kian tak berarti bagi perbaikan kesejahteraan akibat berbagai denda.

OPPUK mencatat setidaknya terdapat 11 jenis kesalahan yang berimplikasi denda yang harus dihindari buruh jika tidak ingin hidupnya semakin miskin atau melarat. Konsekwensinya upah yang tidak seberapa menjadi kian tak berarti bagi perbaikan kesejahteraan akibat berbagai denda.

Belum lagi tantangan yang beragam; misalnya cuaca dan jarak tempuh kebun yang akan dikerjakan, menyebabkan buruh mengalami “siksaan” walau belum melakukan kesalahan apapun. Misalnya, karena hujan dan tidak bisa turun ke lahan buruh harus mengganti hari kerjanya dengan hari lain seperti hari libur (Minggu) yang tidak dianggap lembur. Buruh juga terpaksa harus membayar orang lain (kernet) untuk membantunya agar target kerja terpenuhi. Atau ikut mempekerjakan istri atau anak-anaknya tanpa mendapatkan bayaran apapun dari pihak kebun. Mana ada kesulitan semacam itu yang dirasakan buruh di sektor industri.

Sebagai pekerja sangat sulit bagi buruh perkebunan mendapatkan status permanen atau SKU. Kendati telah mengabdi selama belasan tahun. Mereka tetap diperlakukan sebagai buruh harian lepas atau BHL yang tidak memiliki kepastian ikatan kerja. Situasi keterisoliran mendatangkan kemudahan bagi perusahaan untuk mendapatkan pekerja dari keluarga buruh yakni anak-anak atau istri mereka.  Ada tiga kategori jenis BHL; kontrak permanen (tahunan), kontrak borongan (semi permanen), dan outsourcing. Ketiganya memiliki durasi kerja berbeda setiap harinya. Kesamaannya, sama-sama tidak memperoleh jaminan sosial.

Dengan sistem kerja yang secara mutlak menguntungkan perusahaan, turunannya bermacam kesulitan atau situasi memberatkan lainnya menimpa buruh. Hak-hak normatif buruh tidak dipedulikan.

Diantaranya, tidak dikenal yang namanya upah atau kompensasi lembur. Yang ada adalah premi. Nilainya dihitung dari kelebihan pencapaian target. Bukan kelebihan waktu kerja. Peralatan kerja berupa egrek, angkong, sepatu, helm, sarung tangan, dan sebagainya, perusahaan tidak menyediakan atau melengkapi. Masing-masing buruh yang melengkapi diri sendiri, demi menghindari kecelakaan kerja. Di titik ini buruh seakan-akan pemilik kebun, menyediakan penunjang kerja tetapi hasilnya untuk majikan.

Perumahan yang sudah selayaknya disediakan perusahaan bagi buruh, sangat jauh dari kata layak. Sanitasi yang buruk, listrik yang dibatasi hanya beberapa jam perhari, air yang tidak memenuhi syarat kesehatan, itulah yang diberikan. Rumah tidak lebih hanya merupakan alat kontrol bahwa buruh tidak pergi kemana-mana.

Tentu mendirikan serikat buruh yang murni muncul dari keinginan untuk meningkatkan posisi tawar dengan perusahaan merupakan sesuatu yang hampir tidak mungkin. Pihak perusahaan sudah menyediakan serikat pekerja bagi buruh. Yang selama ini berdiri adalah SP BUN untuk BUMN, SPSI untuk perkebunan swasta, atau serikat yang secara sengaja dibentuk perusahaan yang dalam hal ini seluruh buruh diklaim sebagai anggotanya sekalipun tidak pernah mendaftar. Kendalinya ada di bawah manajemen perusahaan. Tidak ada yang bisa keluar dari kehendak mereka.

Walaupun UU No. 21/2000 menjamin kebebasan buruh mendirikan serikat, nyaris mustahil bagi pekerja kebun bisa membentuk organisasi yang independen. Yang berani melawan, imbalannya beragam bentuk intimidasi (termasuk kepada keluarga). Mulai dari mutasi, pemecatan dan kriminalisasi. Sangat sering petaka semacam itu dialami buruh yang nekat mendirikan serikat di luar kehendak perusahaan. Perjanjian Kerja Bersama yang mengatur mekanisme penyelesaian sengketa antara buruh dengan perusahaan, tidak sekalipun melibatkan buruh dalam penyusunannya. Mereka dipaksa menerima buatan perusahaan yang bersumber dari Badan Kerjasama Perusahaan Perkebunan Sumatera (BKS-PPS).

Dalam kondisi  terisolir sudah pasti kondisi-kondisi menyakitkan yang dialami buruh tidak terdengar oleh pihak luar. Masyarakat umum maupun pemerintah. Dengan demikian tidak ada yang menyebarluaskannya agar menjadi kepedulian banyak pihak.

Khusus bagi pemerintah yang merupakan kewajibannya menegakkan hukum demi melindungi buruh, bisa dikatakan jauh panggang dari api bila berharap mereka bertindak pro-aktif. Pengaduan-pengaduan yang disampaikan kepada pemerintah sering tidak berarti apa-apa agar kesejahteraan atau perlakuan kepada buruh membaik.

C. Perbaikan Kondisi Buruh di era Pemerintahan Jokowi

Bersama seluruh buruh perkebunan di Indonesia yang hidupnya saat ini masih jauh dari situasi sejahtera dan nyaman dalam bekerja, OPPUK berkomitmen agar pada 2016 mendatang terjadi berbagai perbaikan. Lahirnya kebijakan atau peraturan pemerintah yang melindungi buruh secara spesifik (terpisah dari UU perburuhan yang banyak berbicara soal buruh di sektor industri), kebebasan berserikat dalam arti sesungguhnya, status ikatan kerja yang pasti, hak-hak normatif yang terlindungi, fasilitas perumahan yang layak dan manusiawi, peralatan pendukung kerja yang disediakan perusahaan, serta Perjanjian Kerja Bersama yang dibuat secara bersama-sama antara buruh dengan perusahaan.

Keinginan untuk mewujudkan perbaikan-perbaikan di atas sangat terkait dengan kehendak Presiden Joko Widodo yakni mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Perbaikan kondisi kehidupan buruh perkebunan akan dicapai dengan jalan berikut.

  1. Mendorong pemerintah agar melahirkan sebuah protokol dan kebijakan tentang perlindungan buruh di sektor perkebunan.
  2. Memberikan kebebasan berorganisasi kepada buruh untuk membentuk dan menguatkan Serikat Buruh Perkebunan kelapa sawit di seluruh Indonesia.
  3. Mendorong pemerintah agar meratifikasi Konvensi ILO tentang buruh perkebunan dengan menerbitkan kebijakan atau peraturan yang menjadi turunannya.
  4. Memastikan kondisi kerja yang layak sesuai dengan prinsip-prinsip dan Hak Dasar Kerja ILO dan memenuhi aspek kesehatan dan keselamatan kerja, juga berkomitmen terhadap jam kerja yang wajar dan kemajuan ke arah upah yang layak (living wage).
  5. Melakukan perekrutan kerja secara etis dengan memberikan jaminan akan adanya akses keluhan dan keterlibatan pemangku kepentingan yang sesuai dengan standard hak asasi manusia yang diakui secara Internasional, juga berkomitmen pengungkapan/disklosur yang tegas pada semua proses yang berjalan di perkebunan secara transparan dan akuntabilitas.
  6. Menghentikan praktik kerja paksa, perdagangan manusia dan pekerja anak untuk menghindari pengusaha dari kerugian material dan finansial akibat gugatan dari konsumen, juga dikeluarkan dari pasar internasional.
  7. Mendesak agar institusi RSPO untuk tidak begitu mudah menerbitkan sertifikat tentang kwalitas produk CPO bagi perusahaan perkebunan anggotanya. Harus ada rekomendasi dari NGO dan serikat buruh yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit.
Bagikan :