Buruh perkebunan di Indonesia masih menghadapi tindakan-tindakan represif dari pihak pengusaha bahkan Negara melakukan pembiaran terhadap kondisi tersebut hingga terus berlangsung selama 103 tahun lamanya. Lokasi buruh yang terisolir dan budaya “nrimo” dikalangan buruh membuat penindasan yang terjadi tersimpan rapat didalam lingkungan perkebunan saja. Upah murah, buruh anak, kehidupan yang tidak layak hingga beban kerja yang tinggi merupakan masalah-masalah yang biasa ditemui dalam buruh perkebunan. Lemahnya manajemen serikat buruh menjadikan serikat buruh tidak lagi memperjuangkan kepentingan-kepentingan serikat buruh bahkan dijadikan kanal bagi pengusaha untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan mereka. Hal-hal tersebut membuat rendahnya kepercayaan buruh kepada serikat-serikat yang ada. Gambaran yang serupa bahwa buruh perkebunan di Indonesia masih mengalami penindasan dan belum ada wadah yang dapat memperjuangkan kondisi buruh di perkebunan kelapa sawit.

Realitas buruh perkebunan Indonesia, gambaran tentang buruh perkebunan dan praktik-praktik sistem kerja yang menindas di perkebunan di Sumatera Utara menjadi pola yang kemudian diadopsi oleh perkebunan-perkebunan di propinsi lain di Indonesia melalui BKSPPS (Badan Kerjasama Perusahaan Perkebunan Sumatera). Untuk melakukan perubahan kondisi yang demikian perlu dibangun gerakan serikat buruh mandiri yang mampu menyuarakan tuntutan kepada pengusaha dan pemerintah untuk melawan penindasan di perkebunan sawit. Saat ini produk perundangan di Indonesia belum ada yang berpihak pada buruh perkebunan dan tidak sesuai dengan kondisi buruh perkebunan di Indonesia. Kekosongan gerakan buruh perkebunan menyebabkan pengusaha perkebunan menggunakan perundangan buruh industri yang sangat tidak sesuai dengan kondisi di perkebunan kelapa sawit.

Karena hal tersebut, banyak hak-hak buruh perkebunan sawit yang dihilangkan dan target kerja buruh perkebunan tidak sesuai dengan kemampuan buruh itu untuk mencapai target tersebut. Akibatnya untuk dapat mencukupi kebutuhan hidup yang tinggi di perkebunan sawit dan mencapai target kerja yang diberikan, buruh harus mengajak istri dan anak-anak mereka bekerja. Buruh sawit memiliki ketergantungan yang sangat tinggi kepada pengusaha perkebunan. Karena mulai dari proses rekrutmen buruh sudah dibebankan untuk membayar biaya untuk dapat bekerja di perkebunan. Rendahnya upah membuat buruh tidak pernah mampu menutupi hutang mereka, bahkan terus bertambah sehingga buruh tidak mampu melepaskan diri dari lilitan hutang kepada pihak perkebunan atau pihak ketiga yang bekerja sama dengan pihak perkebunan.

Bagaimana pola eksploitasi buruh perkebunan selama ini terjadi ? Selama ini, sudah terjadi bentuk praktik kerja paksa di perkebunan sawit, perusahaan sawit dengan memberikan upah murah, dimana kategori kerja paksa itu termasuk sistem kerja borongan, shift kerja yang tidak sesuai, pekerja tambahan diluar pekerjaan umum, pekerjaan diluar jam kerja tanpa dibayar. Alasan upah murah merupakan bentuk kerja paksa yang halus secara tidak langsung buruh terpaksa untuk bekerja lebih keras karena upah murah dan kebijakan denda. Karena upahnya tidak mencukupi dampaknya banyak terjadi kasus dimana shift kerja yang selayaknya dikerjakan oleh tiga orang dipaksa dikerjakan dua orang, pekerjaan tambahan yang dipaksa dikerjakan buruh untuk menutupi kekurangan pencapaian hasil kerja. Target yang tinggi ditetapkan oleh perusahaan perkebunan juga memaksa buruh untuk bekerja lagi diatas jam kerja yang layak (7 jam dalam sehari ) sesuai peraturan UU No.13 tentang Ketenagakerjaan.

Mengukur kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan buruh perkebunan.

Kekuatan buruh perkebunan memiliki massa yang banyak namun saat ini, massa yang banyak tersebut belum terorganisir dan belum memahami hak-haknya sebagai buruh. Sedangkan serikat yang saat ini hanya serikat buruh bentukan pengusaha yang tidak membela kepentingan buruh perkebunan. Selain itu serikat buruh independen yang belum terkonsolidasi sehingga gerakan buruh perkebunan masih mudah dipecah belah. Kesadaran buruh untuk berorganisasi juga masih kurang karena berbagai tekanan yang diberikan pengusaha melalui mutasi, pemecatan hingga kriminalisasi. Tekanan-tekanan yang ditujukan kepada buruh yang aktif berserikat membuat buruh lainnya takut untuk bergabung dalam serikat. Sumber pendapatan buruh yang sangat terbatas berdampak pada keberlanjutan organisasi juga karakter pemimpin serikat buruh yang masih mudah menerima suap dari pengusaha membuat serikat buruh independen tidak mampu bertahan lama.

Sekalipun masih memiliki banyak kelemahan, buruh perkebunan memiliki peluang – peluang untuk perbaikan kondisi kehidupannya. Adanya perwakilan buruh yang duduk di legislative dapat dimanfaatkan untuk mendorong lahirnya kebijakan di Indonesia yang melindungi buruh perkebunan. Terbangunnya jaringan dari NGO ditingkat nasional dan internasional juga dapat dimanfaatkan untuk kampanye dan advokasi kehidupan buruh perkebunan yang saat ini masih hidup seperti dalam perbudakan zaman modern. Hadirmya RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) menjadi peluang lainnya untuk mendorong perbaikan kehidupan buruh melalui pelaksanaan prinsip dan kriterianya. Sedangkan kekuatan pengusaha yang belum dapat ditandingi oleh buruh adalah modalnya yang besar ditambah dukungan lembaga-lembaga keuangan terhadap bisnis perkebunan kelapa sawit yang mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Pengusaha juga memiliki SDM yang handal dan jaringan yang kuat yang mampu menyokong bisnis mereka khususnya jaringan ditingkat pemerintah sehingga para pengusaha dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang melindungi kebutuhan bisnis dan investasi mereka. Namun kekuatan pengusaha tersebut juga menjadi kelemahan mereka karena tingginya persaingan antar pengusaha. Salah satu tantangan para pengusaha adalah jika buruh mampu bersatu dalam serikat yang mampu membela kepentingan buruh. Sedangkan peluang yang dimiliki oleh pengusaha perkebunan adalah tingginya angka pengangguran yang menyebabkan mereka dengan mudah mendapatkan tenaga kerja dengan upah yang rendah. Karena itu pengusaha dengan mudah melakukan tekanan – tekanan kepada buruh yang ingin berserikat.

Untuk melakukan perbaikan kondisi buruh perkebunan kelapa sawit, terdapat banyak aktor dari tingkat local, propinsi, nasional hingga internasional dengan peran dan kepentingan masing-masing. Peran dan kepentingan tersebut dianalisa sesuai dengan pengaruh yang diberikan. Pemerintah dan legislative ditingkat local, propinsi dan nasional memainkan peranan penting mewujudkan perbaikan kondisi buruh perkebunan kelapa sawit, namun minimnya informasi dan tenaga pengawas menyebabkan hal tersebut tidak dapat terwujud. Hubungan yang erat antara pengusaha dengan pemerintah serta legislative menyebabkan mereka lebih mengakomodir kepentingan pengusaha. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pengusahapun tidak mendapatkan tindakan yang tegas sehingga pelanggaran terus berlangsung meskipun perkebunan kelapa sawit telah ada di Indonesia selama lebih dari 100 tahun.

Namun peran pemerintah dan legislative dapat dijadikan peluang untuk memediasi konflik yang timbul akibat hubungan kerja yang tidak adil antara pengusaha dan buruh. BKPPS juga merupakan aktor yang memainkan peran penting terhadap penindasan yang terjadi atas kehidupan buruh perkebunan. Meskipun bukan merupakan lembaga pemerintah, namun BKPPS mampu menerapkan upah dibawah ketetapan pemerintah disemua perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Bahkan BKPPS yang merupakan gabungan para pengusaha perkebunan kelapa sawit bersama serikat buruh kuning membuat kesepakatan perjanjian kerja bersama yang diterapkan disemua perkebunan di Indonesia. Dengan kesepakatan tersebut pengusaha mampu mengontrol pergerakan buruh dan menggunakannya sebagai alat legitimasi bahwa mereka tidak menghalang-halangi kebebasan berserikat di perkebunan.

Selain organisasi pengusaha yang tergabung dalam BKPPS pengusaha juga kekuatannya di tingkat internasional dalam badan sertifikasi RSPO. Sertifikasi yang dikeluarkan merupakan pernyataan bahwa pengusaha telah meminimalisir dampak negative dari produksi kelapa sawit mereka. Namun pada kenyataannya RSPO tidak mampu menyentuh akar penindasan yang terjadi atas hidup buruh perkebunan. Peran RSPO untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan ternyata masih belum memperhatikan kehidupan buruh dan dampak social yang muncul akibat hadirnya perkebunan. Walaupun demikian, RSPO dapat digunakan sebagai alat perjuangan buruh untuk melakukan penekanan terhadap perusahaan-perusahaan anggota RSPO untuk memenuhi hak-hak buruh sesuai tertera dalam prinsip dan kriterianya. Serikat buruh perkebunan berperan penting untuk mendorong terwujudnya perbaikan kondisi buruh perkebunan di Indonesia, lemahnya posisi buruh perkebunan karena buruh berada di lokasi yang terisolir dan mendapatkan banyak tekanan dari pihak manajemen.

Peran penting dari serikat buruh adalah untuk mengorganisir dan mendidik buruh perkebunan mengenai hak-hak mereka juga mengadvokasi masalah-masalah yang dihadapi buruh perkebunan. Organisasi buruh Independen merupakan media buruh untuk mendapatkan pendidikan kritis dan media penyadaran melalui diskusi. Serikat buruh yang ada saat ini justru lebih berpihak kepada kepentingan pengusaha karena pengurus merupakan bagian dari manajemen perusahaan, maka itu perlu dibangun serikat buruh perkebunan independen agar perbaikan kondisi buruh dpat dicapai. (Binsar Ritonga)

——————————————

Bagikan :