Jamaluddin Hasibuan, Ketua Dewan Pengurus Cabang Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (DPC SERBUNDO) diangkat menjadi anggota Dewan Pengupahan Daerah kabupaten Labuhanbatu Selatan. Pengangkatan yang di lakukan melalui Surat Keputusan Bupati  Labuhanbatu Selatan No. 188.45/10/DSTKT/2016 tertanggal 13 Januari 2016 dengan periodesasi 2016 s/d 2019.

Menurut Jamal, wakil serikat buruh dapat menggunakan kesempatan tersebut untuk bernegosiasi mengenai besaran upah minimum yang dikehendaki dengan wakil pengusaha dan pemerintah. Namun, pada akhirnya buruh tetap merasa tidak puas dengan keputusan yang dihasilkan oleh Dewan Pengupahan karena meskipun wakil serikat buruh dapat menyampaikan aspirasinya secara terbuka, ternyata aspirasi tersebut tidak terakomodasikan ke dalam hasil keputusan Dewan Pengupahan.

Buruh harus menghadapi suatu strategi yang dapat menghambat keikutsertaannya dalam pengambilan keputusan. Mekanisme voting, di satu sisi, dapat menjadi salah satu alat perjuangan buruh untuk memasukkan kepentingannya tetapi, di sisi lain, dapat merugikan buruh. Jika semua pihak yang ada di Dewan Pengupahan memainkan perannya masing-masing, sementara pemerintah berfungsi sebagai fasilitator dan mediator antara buruh dan pengusaha, maka buruh dihadapkan pada sesuatu yang adil. Hal ini pun harus ditunjang dengan kemampuan negosiasi yang baik agar buruh dapat mengimbangi kapasitas yang dimiliki oleh pihak pengusaha. Namun, jika pemerintah berkepentingan untuk lebih berpihak kepada pemegang modal, yaitu pengusaha, maka buruh akan sulit memperjuangkan kepentingannya karena harus berhadapan dengan aliansi antara pengusaha dan pemerintah.

Keberpihakan pemerintah kepada kepentingan investasi ternyata masih membayangi pengambilan keputusan di Dewan Pengupahan Daerah (DPD). Hal ini tampak dari besaran rumusan upah minimum yang dihasilkan oleh DPD yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup buruh. Selain itu, peran buruh dalam menempati posisi kunci juga amat rendah. Hal tersebut tampak dari struktur organisasi DPD, yang terdiri dari beberapa komisi, di antaranya adalah komisi survei upah dan kebutuhan hidup minimum yang diketuai oleh unsur pemerintah. Kedua komisi tersebut mempunyai peran yang sangat penting dalam merumuskan besaran upah minimum. Posisi kunci hanya diduduki oleh pelaku yang mempunyai sumber daya manusia yang kuat, baik dari segi kemampuan negosiasi maupun pengetahuan. Posisi kunci juga bisa dimanfaatkan untuk memasukkan kepentingan-kepentingan tertentu.

Wakil serikat buruh tidak dapat menduduki posisi kunci karena mereka tidak memenuhi kualifikasi tersebut. Kemampuan negosiasi dan pengetahuan tentang keadaan perekonomian secara makro dan tentang kemampuan perusahaan yang dimiliki buruh masih rendah. Oleh sebab itu, argumen yang dibangun seringkali dengan mudah dipatahkan oleh pihak lain, baik pengusaha maupun pemerintah. Selain itu, kurangnya koordinasi di antara wakil serikat buruh dan kurangnya kemampuan buruh dalam melakukan koordinasi dengan pihak lain semakin mendorong terjadinya hal tersebut. Namun, masih ada hal lain, meskipun kemampuan negosiasi dan pengetahuan buruh sudah cukup baik dan mampu mengimbangi unsur lainnya, jika masih saja terjadi aliansi antara pihak pemerintah dan pengusaha, maka posisi buruh akan tetap lemah.

Transparansi dari pihak pengusaha mengenai kemampuan perusahaannya sangat diperlukan. Apabila buruh mengetahui kondisi perusahaannya, maka tuntutan kenaikan upah akan disesuaikan dengan keadaan perusahaannya. Selain itu, pihak buruh harus dapat memberikan insentif yang menguntungkan bagi perusahaan, misalnya melalui peningkatan produktivitas. Kenaikan upah yang tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitas malah akan membuat daya saing semakin lemah dan merugikan buruh karena akan membuka peluang pengurangan tenaga kerja. Kesadaran tersebut harus dibangun oleh kedua belah pihak agar tercipta hubungan yang sinergis antara pengusaha dan buruh.

Di era otonomi daerah ini gubernur atau bupati/walikota sebenarnya mempunyai peluang untuk memperbaiki kondisi buruh yang ada di wilayahnya karena mereka bisa lebih mengetahui kemampuan daerah dan juga kemampuan perusahaannya dan dengan demikian dapat menetapkan upah minimum sesuai dengan kemampuan yang ada.

Kelemahan pada proses pembahasan maupun pelaksanaan survei oleh Dewan Pengupahan dapat diimbangi oleh peran quality control dari gubernur atau bupati/walikota. Mereka mempunyai kewenangan untuk menyetujui atau pun tidak menyetujui rumusan yang dihasilkan oleh Dewan Pengupahan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Gubernur atau bupati/walikota dapat menggunakan kewenangannya untuk mengembalikan usulan upah minimum yang diajukan oleh Dewan Pengupahan untuk dirumuskan kembali. Apabila dalam jangka waktu 14 hari tidak mendapat tanggapan, maka gubernur atau bupati/walikota mempunyai kewenangan untuk menetapkan upah minimum.

Pada kenyataannya peran tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal. Yang terjadi adalah gubernur atau bupati/walikota malah menjadi legalisator dari kelemahan-kelemahan yang ada dan hal yang paling dikhawatirkan terbukti bahwa eksekutif bisa membuat perjuangan buruh terhadang. Dengan demikian, meskipun wakil serikat buruh telah mengerahkan kemampuannya dalam proses penambahan upah minimum di Dewan Pengupahan, jika yang menjadi pengambil keputusan lebih aspiratif terhadap kepentingan modal, maka perjuangan buruh tetap tidak sesuai dengan harapan buruh. Hal ini sangat tergantung pada siapa yang menjadi gubernur atau bupati/walikota dan apa kepentingan yang dimilikinya. Apabila eksekutif tidak mempunyai good will untuk memperbaiki kondisi buruh yang ada, maka dengan adanya kebijakan ini malah semakin mempersulit posisi buruh.

Menghadapi kasus di Dewan Pengupahan Daerah, DPRD seharusnya mampu menjalankan peran pengawasan terhadap eksekutif secara optimal. DPRD seharusnya dapat menjalankan fungsinya sejak awal proses penetapan upah minimum dan bukan pada akhir masa pertanggungjawaban eksekutif saja. DPRD selaku pengawas kinerja eksekutif sejauh ini tidak dapat terlalu diharapkan karena perjuangan DPRD sendiri tampaknya hanya sebatas memberikan rekomendasi kepada eksekutif dan tidak dapat mengintervensi terlalu jauh terhadap kebijakan pengupahan yang ada, karena kewenangannya ada di tangan eksekutif.

Bagikan :