Organisasi Penguatan dan Pengembangan Usaha-Usaha Kerakyatan (OPPUK), Rainforest Action Network (RAN) dan International Labor Rights Forum (ILRF) meluncurkan laporan berjudul, “Tinjauan Ulang Korban Minyak Sawit Bermasalah: Peran PepsiCo, Perbankan dan RSPO dalam Melanggengkan Eksploitasi Buruh Indofood”. Laporan ini di luncurkan di sela-sela rapat tahunan RT 15 RSPO di Nusa Dua Bali. Hal ini mengungkap temuan-temuan investigasi lapangan dan wawancara dengan buruh dari tiga perkebunan kelapa sawit yang dimiliki dan dikelola oleh perusahaan produsen makanan terbesar Indonesia, Indofood, yang juga menjadi produsen tunggal makanan ringan merk PepsiCo di Indonesia.

Laporan ini merupakan tindak lanjut atas laporan yang pernah disampaikan satu setengah tahun sebelumnya dan mengungkap tentang pelanggaran tenaga kerja yang terjadi di perkebunan milik Indofood. Dari laporan tersebut terungkap bahwa kondisi perkebunan tersebut masih sama, termasuk masih ditemukan risiko yang tinggi akan terjadinya kerja paksa dan buruh anak.

Di antara temuan lainnya juga ditemukan buruh yang mengalami risiko terpapar pestisida berbahaya, menerima upah di bawah minimum, penetatapan status buruh sebagai tidak tetap untuk mengisi pekerjaan inti yang melanggar peraturan, dan dihalangi dalam kegiatan serikat buruh mandiri.Semua pelanggaran tenaga kerja ini terdokumentasikan di perkebunan yang memiliki sertifikat “berkelanjutan” Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), skema sertifikasi industri kelapa sawit terkemuka, dan terkait dengan PepsiCo melalui kerjasama usahanya dengan Indofood.

“Sebagai lembaga sertifikasi industri kelapa sawit terkemuka, RSPO harus meminta pertanggungjawaban anggotanya. RSPO tidak dapat terus mensertifikasi pelanggaran buruhdan mengabaikan penderitaan buruh yang menghadapi risiko khusus semacam itu,” ungkap Herwin Nasution, Direktur Eksekutif OPPUK . “Ini masalah yang mendesak, RSPO harus bertindak atas keluhan yang diajukan terhadap Indofood, dan memperkuat kriteria dan sistem auditnya, sehingga buruh dapat dilindungi, dan kami bisa berharap untuk mendapatkan minyak kelapa sawit yang benar-benar ‘bebas dari eksploitasi’,” sambung dia.

Pelanggaran hak buruh terjadi secara umum di industri kelapa sawit, namun Indofood, sebagai salah satu perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia dan perusahaan makanan terbesar di Indonesia, sangat tertinggal di antara yang lainnya.

Indofood saat ini merupakan perusahaan minyak kelapa sawit swasta terbesar di Indonesia yang belum memperkuat kebijakannya atau memperbaiki praktiknya agar sesuai dengan tolak ukur baru untuk kelapa sawit yang bertanggung jawab: yaitu berkomitmen untuk tidak melakukan deforestasi, tidak melakukan perluasan di lahan gambut, dan tidak melanggar hak asasi manusia maupun pekerja, yang diberlakukan untuk seluruh operasional perusahaan maupun pemasok pihak ketiga.

“Temuan ini sangat keterlaluan, Indofood, PepsiCo, RSPO dan yang lainnya sudah mengetahui terjadinya pelanggaran hak buruh di perkebunan kelapa sawit Indofood selama kurang lebih satu setengah tahun, namun sedikit sekali bahkan hampir tidak ada yang berubah,” ungkap Robin Averbeck, Direktur Kampanye Agribisnis RAN.

“Laporan kedua ini seharusnya tidak perlu dibuat. Pihak-pihak yang terlibat dalam pelanggaran hak buruh sudah seharusnya bertindak, atau akan dikenal sebagai pihak yang membiarkan eksploitasi buruh terjadi demi minyak kelapa sawit yang murah.”PepsiCo, yang juga menjadi perusahaan peringkat bawah di antara yang lainnya, mengeluarkan kebijakan kelapa sawit baru pada bulan September 2015 namun tidak mewajibkan Indofood sebagai mitra usahanya untuk mematuhi asas-asas kebijakannya.

Akibat dari lemahnya penerapan kebijakan kelapa sawit PepsiCo, ratusan ribu konsumen dan organisasi masyarakat sipil di seluruh dunia berdiri bersama untuk bersolidaritas dengan buruh kelapa sawit untuk menekan PepsiCo dan menuntut agar perusahaan segera mengambil tindakan yang signifikan.“Temuan investigasi kedua ini sangat mengecewakan, dan dengan reputasi perusahaan multinasional yang menjadi taruhannya, PepsiCo harus bisa berbuat lebih baik,” ujar Eric Gottwald, Direktur Hukum dan Kebijakan ILRF.

“PepsiCo membanggakan diri dengan menetapkan tujuan keberlanjutan yang tinggi, namun bagaimana mungkin pelanggaran hak buruh disebut sebagai bagian dari ‘keberlanjutan’? PepsiCo juga harus memikul tanggung jawab Indofood selaku mitra usahanya, mendorong Indofood agar mengikuti pada norma-norma hak asasi manusia dan ketenagakerjaan yang sesuai atau lebih baik memutuskan kerjasama yang ada. Diam sama sekali bukan pilihan,” jelas dia.

Laporan ini menyertakan perbaikan yang direkomendasikan untuk Indofood dan First Pacific selaku perusahaan induknya. Laporan ini juga menyertakan rekomendasi untuk PepsiCo dan Nestle yang juga menjadi mitra usahanya, juga lembaga sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), yang hingga laporan ini dikeluarkan belum menyelesaikan keluhan yang diajukan terhadap Indofood atas pembiaran pelanggaran hak-hak buruh yang sudah berlangsung lama.

Rekomendasi juga ditujukan pada bank dan investor Indofood yang lamban menyikapi laporan tersebut, termasuk Bank Central Asia dan Bank Mandiri di Indonesia dan bank besar Jepang Mizuho Financial Group, berikut perusahaan pengolahan minyak kelapa sawit seperti Musim Mas dan Wilmar yang secara langsung maupun tidak langsung memasok minyak kelapa sawit dari Indofood.(Rd1)

 

Bagikan :