A. Latar Belakang
Hadirnya perkebunan kelapa sawit skala besar di Indonesia telah mendatangkan keuntungan bagi Negara.  Nilai ekspor CPO dan turunannya sampai pada Desember 2014 mencapai 20,8 milliar dolar AS¹. Tingginya produksi kelapa sawit Indonesia menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor kelapa sawit terbesar di dunia.

Ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia hingga saat ini mencapai  13,5  juta hektar dan menghasilkan lebih dari 25 juta ton CPO (Sawit Watch, 2014)². Alasan Pemerintah mendorong usaha perkebunan adalah untuk devisa negara dan penyerapan lapangan kerja namun buruh yang bekerja diperkebunan sawit belum mampu mensejahterakan kehidupan buruh dan keluarganya. Diperkirakan sekitar 70% buruh di perkebunan adalah Buruh Harian Lepas (Sawit Watch 2012). Hubungan kerja yang terbangun mengakibatkan tidak adanya kepastian kerja yang akhirnya hak-hak buruh tidak terpenuhi. Dari beberapa penelitian terungkap adanya indikasi kerja paksa buruh di perkebunan kelapa sawit. Buruh mengalami perlakuan buruk,  upah rendah, target kerja yang tinggi, pemberlakukan hukuman dan denda yang tidak adil, tidak diberikannya alat kerja dan alat keselamatan kerja yang memadai,  minimnya fasilitas air bersih, kesehatan, sarana dan prasarana sekolah. Akibat  penerapan beban kerja dan target kerja yang tinggi, serta penerapan denda bagi buruh, buruh terpaksa melibatkan anak dan istri maupun keluarganya untuk membantu  bekerja. Di perkebunan kelapa sawit juga masih banyak ditemukan  pekerja anak.

Hadirnya lembaga sertifikasi perkebunan kelapa sawit ditingkat internasional yaitu Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO) maupun tingkat nasional yaitu Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), tidak mampu membawa perubahan pada kehidupan buruh perkebunan kelapa sawit. Hak-hak normatif buruh yang tercantum dalam Principe and criteria (PnC) RSPO maupun ISPO belum mampu diwujudnyatakan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit maupun rantai pasoknya. Akibatnya, berbagai bentuk-bentuk pelanggaran perkebunan masih terjadi. Pemberlakuan buruh tanpa kontrak yang jelas,  pengekangan serikat buruh, PHK sepihak, kekerasan terhadap buruh perempuan dan buruh anak, dan lain-lain.  Tidak adanya sanksi tegas yang diberlakukan oleh lembaga sertifikasi maupun pemerintah membuat PnC maupun perundangan ketenagakerjaan yang berlaku hanya sebagai “macan ompong”.

Beberapa bentuk pelarangan serikat buruh :

B. Serikat Buruh Di Perkebunan Kelapa Sawit
Kondisi buruh perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada umumnya tidak mempunyai serikat buruh yang independen, walaupun ada serikat buruh dalam perusahaan perkebunan adalah serikat buruh kuning dan bentukan dari perusahaan. Pembentukan serikat buruh yang dilakukan perusahaan adalah sebagai alat legitimasi semata-mata hanya untuk mendapatkan sertifikat dari RSPO dan ISPO. Serikat buruh tersebut tidak sesuai fungsi dan perannya untuk membela hak-hak buruh sesuai dengan undang-undang no. 21 tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja.
Buruh yang mendirikan serikat buruh independen diperusahaan perkebunan sawit mendapatkan intimidasi, mutasi, demosi, bahkan di-PHK semena-mena. Pihak pengusaha selalu menyangkal tindakan yang dilakukan bukan karena buruh mendirikan serikat buruh dalam perusahaan. Sampai saat ini pihak pengusaha masih menganggap keberadaan serikat buruh independen adalah “momok” yang dapat mengganggu dan merugikan proses produksi.
Padahal ketentuan konvensi ILO no.87 tahun 1949 dan undang-undang no. 21 tahun 2000 cukup jelas mengatur hak perusahaan maupun hak buruh dalam proses produksi, pihak perusahaan dilarang untuk menghalang-halangi buruh yang ingin membentuk serikat buruh. Kebebasan berserikat dalam perusahaan perkebunan kelapa sawit seharusnya diakomodir oleh perusahaan karena serikat buruh mempunyai hak dan kewajiban yang dapat memperlancar dan mendorong peningkatan produksi perusahaan. Juga perusahaan mendapatkan respon positif dari RSPO, ISPO, investor dan konsumen internasional sehingga perusahaan tidak dianggap sebagai perusahaan hitam yang dapat mengganggu dan merugikan pemasaran ditingkat nasional dan internasional.

C. Penutup
Dengan melihat realitas diatas, serikat buruh independen di perusahaan perkebunan mengalami intimidasi dari pihak perusahaan sehingga hal yang mustahil melakukan pendirian serikat buruh independen yang dapat membela kepentingannya. Sudah selayaknya kebebasan berserikat diperusahaan perkebunan menjadi perhatian dari multistakeholder. Kesepemahaman tentang protokol kebebasan berserikat merupakan tekad bulat dari multistakeholder untuk mendorong keadilan yang equal antara buruh dan pengusaha perkebunan.


 

Pustaka :

1. GAPKI; Refleksi Industri Kelapa Sawit 2014 dan Prospek 2015; 20 Januari 2015; Pers Release GAPKI; Januari 2015;

2. Nurhanuddin Achmad; Mencari keadilan dari Industri Kelapa Sawit Indonesia; Hal. 77 -78; Februari 2015; Serikat Petani Kelapa Sawit

Bagikan :