PERNYATAAN SIKAP

ALIANSI PEKERJA BURUH DAERAH – SUMATERA UTARA

(  A P B D – S U  )

Pada Peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) 2016

Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan dengan dalih untuk kesejahteraan rakyat, akan tetapi justru menambah beban bagi kaum buruh. Kebijakan pemerintah tentang BPJS Kesehatan, mewajibkan buruh membayar iuran sebesar 2 % dari gaji yang diterima sementara dalam Undang-Undang (UU) sebelumnya, yaitu UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), kesehatan bagi buruh dan keluarganya ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha. Dan bukan hanya itu, UU BPJS Kesehatan ini telah menghilangkan tanggung jawab pengusaha terhadap buruhnya. Buruh yang sakit tidak lagi menjadi tanggung jawab pengusaha untuk memberikan pengobatan, melainkan menjadi tanggung jawab BPJS, sementara pelayanan BPJS Kesehatan masih buruk dan jauh dari yang diharapkan. Ironisnya, dalam kondisi pelayanan yang sangat buruk ini, pemerintah justru menaikkan besaran iuran yang akan ditanggung oleh rakyat, termasuk kenaikan nilai besaran iuran yang akan ditanggung oleh buruh dengan dalih merugi.

Beban buruh ini semakin bertambah dengan dikeluarkannya kebijakan tentang Tabungan Perumahan rakyat (Tapera) yang mewajibkan buruh membayar iuran sebesar 2,5 % dari gaji atau upah yang diterima. Dan terbitnya UU ini seolah menghilangkan tanggung jawab Jamsostek yang selama ini telah mendengung-dengungkan program perumahan bagi buruh. Dan jika di total beban yang harus ditanggung oleh seorang buruh dari upah yang diterimanya untuk iuran yang bersinggungan dengan program pemerintah mencapai 7,5 %, dan ini masih diluar dari potongan-potongan lain seperti iuran untuk Serikat Buruh, dan lain-lainnya, tentu ini merupakan nilai yang sangat berharga bagi buruh.

Di sisi lain, Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah  (PP) No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan yang justru mengebiri keberadaan Dewan Pengupahan dan peran Serikat Buruh dalam penetapan Upah Minimum. Penetapan formula perhitungan kenaikan Upah Minimum menyebabkan Serikat Buruh tidak lagi terlibat dalam urusan upah. Upah Minimum untuk buruh masa kerja di bawah satu tahun akan ditetapkan sesuai formula baru. Sementara upah di tingkat perusahaan akan ditentukan oleh struktur dan skala upah. Serikat buruh hanya akan terlibat dalam perumusan konsep upah sekali lima tahun dalam wadah lembaga tripartit  dan itu jika ada konsep upah baru yang disetujui oleh pengusaha atau pemerintah. Dan dengan formula yang ditetapkan oleh pemerintah melalui PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan maka evaluasi Kebutuhan Hidup Layak tidak akan relevan lagi untuk dilakukan sebab Upah Minimum tidak lagi didasarkan atas 60 komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

Formula perhitungan Kenaikan Upah yang ditetapkan dalam PP No. 78 Tahun 2015  menyebutkan bahwa penetapan Upah Minimum  didasarkan pada: Upah Minimum tahun berjalan ditambah persen inflasi dan pertumbuhan ekonomi, hal ini bertentangan dengan Pasal 89 ayat (3) UU No 13/2003 yang menyebutkan bahwa “Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)  ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/ atau Bupati/ Walikota”.  Dan dalam Pasal 97 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengamanatkan kepada pemerintah untuk menetapkan Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup layak,dan perlindungan pengupahan, penetapan upah, dan pengenaan denda bukan untuk mengubah formula pengupahan. Dan formula perhitungan kenaikan upah yang ditetapkan oleh pemerintah melalui PP No. 78 Tahun 2015 hanya memperhitungkan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan Daya Beli dari nilai Upah Minimum tersebut sehingga penetapan Upah Minimum dengan formula yang ditetapkan pemerintah tidak sejalan dengan amanat UU No. 13 Thn 2003.

Semua regulasi di atas dibungkus dalam paket kebijakan ekonomi pemerintah dengan dalih untuk kesejahteraan rakyat. Akan tetapi justru menjadi beban bagi buruh. Kebijak-kebijakan tersebut berdampak pada pengurangan nilai upah yang akan diterima oleh buruh. Disisi lain, pemerintah lewat kebijakan paket ekonominya juga berencana mengeluarkan berbagai regulasi yang sangat  menguntungkan bagi pengusaha dengan pemberian berbagai kemudahan investasi, pemotongan dan pengurangan pajak. Regulasi ini lebih kepada regulasi balas jasa atas kebijakan-kebijakan yang membebani pengusaha dalam hal iuran BPJS dan pensiun, akan tetapi lagi-lagi pemerintah berdalih bahwa regulasi ini dikeluarkan untuk mendatangkan investasi sehingga dapat memangkas atau mengurangi jumlah pengangguran.

Niat pemerintah untuk mengurangi pengangguran memang harus kita beri apresiasi, akan tetapi hal itu tidak akan berarti jika pemerintah sendiri tidak mengeluarkan kebijakan atau regulasi yang melindungi buruh dan melakukan pengawasan terhadap aturan yang sudah ada. Praktek yang terjadi selama ini banyak aturan tidak berjalan karena pengawasan yang tidak ada dari pemerintah, seperti penerapan kebebasan berserikat sebagimana diatur dalam UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat buruh, penerapan buruh outsorcing, BHL dan buruh PKWT kerap terjadi pelanggaran dan tidak tersentuh oleh hukum oleh karena lemahnya pengawasan.

Ditingkat regulasi, pemerintah perlu menerbitkan kebijakan yang melindungi buruh perkebunan kelapa sawit. Regulasi yang digunakan selama ini masih mengacu pada UU No. 13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan, yang sama sekali tidak mengatur sistem dan mekanisme kerja di perkebunan kelapa sawit, sehingga buruh di perkebunan kelapa sawit sangat rentan mengalami penindasan dan perbudakan.

Berangkat dari kondisi di atas, maka kami yang tergabung dalam “ALIANSI PEKERJA BURUH DAERAH – SUMATERA UTARA (APBD – SU) menyatakan sikap :

  1. Menolak PP 78 tahun 2015 tentang pengupahan karena tidak mengakomodir keberadaan Serikat Buruh dan mengebiri keberadaan dewan pengupahan serta tidak sejalan dengan amanat UU No. 13 Tahun 2003.
  2. Menolak kenaikan Iuran BPJS Kesehatan karena hanya menambah beban buruh sementara pelayanan PBJS jauh dari memadai.
  3. Berikan perumahan dan transportasi massal bagi buruh secara gratis.
  4. Berikan perlindungan hukum bagi buruh perkebunan kelapa sawit di Indonesia
  5. Angkat BHL, outsourcing, dan PKWT menjadi buruh tetap.
  6. Laksanakan kebebasan Berserikat di Perkebunan Kelapa Sawit dan tindak tegas pelaku pemberangusan Serikat Buruh di perkebunan kelapa sawit.
  7. Tolak kriminalisasi terhadap buruh.
  8. Revisi UMK Deli Serdang

Demikian pernyataan sikap ini kami buat dan sampaikan.

Hidup Buruh ….!!!

Hidup Buruh ….!!!

Hidup Buruh ….!!!

Medan, 28 April 2016.

Hormat kami,

ALIANSI PEKERJA BURUH DAERAH – SUMATERA UTARA

( A P B D – S U )

SBMI – SUMUT SERBUNDO
Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) SBMI Mandiri Indonesia
F.SP.KAHUT-KSPSI SUMUT SBSU
Serikat Pekerja Industri (SPI) OPPUK
Bagikan :