Pada tahun 1911 pertama kali kelapa sawit dikembangkan untuk tujuan komersial di Deli Serdang, Sumatera Utara – Indonesia oleh seorang warga Negara Belgia (Adrien Hallet). Selama 107 tahun kelapa sawit Indonesia masih tetap menjadi primadona di pasar global. Indonesia mulai mengekspor Crude Palm Oil (CPO) sejak tahun 1919. Kementrian Pertanian menyebutkan hingga Nopember 2017 perolehan devisa dari produk minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil mencapai Rp 239,4 triliun dengan 31,5 juta ton CPO yang di ekspor. Dengan pendapatan yang demikian, tidak heran jika ekspansi perkebunan kelapa sawit terus mendapat dukungan dari pemerintah Indonesia. Meningkatnya produksi minyak sawit Indonesia tidak lepas dari campur tangan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) yang terbentuk sejak 1981 dan yang beranggotakan 622 perkebunan di Indonesia. Dengan luas 12 juta hektare perkebunan kelapa sawit, buruh yang bekerja di industri minyak kelapa sawit ini melibatkan 16 juta buruh. Minyak kelapa sawit memang mampu mendongkrak pendapatan devisa Indonesia secara nasional begitu para pengusaha perkebunan kelapa sawit mendapatkan keuntungan yang besar.

Berbeda dengan buruh yang bekerja di pabrik industri pengolahan (manufacture) yang lokasi kerjanya tak jauh dari pusat kota atau pusat pemerintahan, buruh perkebunan kelapa sawit adalah kebalikannya. Mereka bekerja jauh di daerah-daerah pelosok yang terpencil. Terisolir sehingga banyak orang yang tidak tahu bagaimana kondisi sesungguhnya. Sarana transportasi bagi buruh perkebunan merupakan sesuatu yang sulit ditemukan. Akan halnya komunikasi, tak segampang buruh di kota yang dengan mudah bisa berganti-ganti hendak menggunakan jasa operator telepon seluler apa saja, buruh di perkebunan sangat berbeda. Hanya operator tertentu yang menjangkau sampai kesana, itupun dengan kwalitas yang seringkali cuma ala kadarnya. Pendek kata, baik alat bantu transportasi maupun komunikasi, keduanya bagaikan barang mewah bagi para pendodos.

Mari menebak bersama-sama kejadian-kejadian apa kemudian yang kerap dialami buruh perkebunan kelapa sawit di tempat mereka hidup dan bekerja. Kaitannya dengan relasi mereka bersama pengusaha berikut manajemen kerja yang dipraktikkan. Kalau buruh di perkotaan yang dengan gampang bisa mengadu ke banyak pihak manakala mendapat perlakuan semena-mena dari majikannya itupun masih belum terbebas dari tindak pelanggaran hukum oleh pihak perusahaan, apalagi buruh di perkebunan kelapa sawit. Walau berteriak sekeras-kerasnya sampai kerongkongan seperti tercekik belum tentu ada yang mendengarkan, apalagi membela. Kalau begitu bagaimana sebenarnya peliknya kehidupan mereka dan siapa yang mempedulikannya?

“Perbudakan Modern”

Dimulai dengan menyaksikan secara langsung perumahan atau pondok tempat buruh bermukim yang disediakan perusahaan perkebunan kelapa sawit, dari sana akan terbuka cerita memilukan seperti apa yang mereka alami. Letaknya di areal kebun yang semula merupakan hutan. Sekali lagi, jauh dari akses keramaian. Umumnya terbuat dari papan, pondok didirikan seperti los bertangga yang berbaris panjang terdiri atas beberapa petak dengan ukuran yang tidak seberapa. Fasilitas penerangan dari listrik pada malam hari tersedia sangat terbatas. Hanya beberapa jam sampai pukul 23.00 WIB, kemudian menyala lagi pukul 04.00 WIB, selebihnya gelap gulita. Sanitasi sebagai syarat hidup sehat terbilang buruk. Ketersediaan air yang merupakan kebutuhan dasar, memprihatinkan. Tidak jarang buruh harus berjalan jauh beberapa kilometer agar mendapatkan air yang layak untuk dimasak dan diminum. Sebab mereka berada di lahan gambut yang kwalitas airnya tidak baik. Perusahaan merasa tak berkewajiban memenuhinya. Jamban tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting dan wajib disediakan. Jadi jauhkanlah pemikiran yang menganggap bahwa perusahaan sudah bermurah hati menyediakan fasilitas pemondokan buruh. Pondok atau perumahan tak lebih dari alat kontrol guna memastikan bahwa buruh tidak pergi kemana-mana alias tidak melarikan diri.

Peralatan kerja buruh kebun terutama yang bekerja sebagai pemanen atau pendodos adalah benda-benda bisu yang mampu bercerita apakah pihak manajemen sudah memperlakukan pekerjanya dengan benar. Helm, sepatu kedap air, kacamata, sarung tangan, egrek dengan penyangga besi sepanjang beberapa meter, serta angkong, merupakan peralatan yang wajib ada agar pemanen dapat menurunkan janjang sawit dari pohonnya. Lazimnya (sebagaimana ketentuan UU) perusahaanlah yang menyediakan sehingga buruh dapat bekerja optimal. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Semua peralatan kerja tersebut menjadi beban buruh untuk melengkapinya. Oleh karenanya seringkali mata mereka mengarah menuju buta karena kemasukan benda-benda yang membutakan saat memanen karena tak memakai kacamata. Kakinya terluka akibat digigit serangga atau binatang lainnya sebab tak terlindungi sepatu kerja. Dengan upah yang tidak seberapa buruh harus menyediakan angkong yang harganya tak murah. Seakan-akan hamparan kebun sawit tersebut adalah kepunyaan mereka.

Bayangkan kalau kakus dan air untuk membersihkan diri saat buang hajat tidak berdiri di areal perkebunan, itu artinya buruh harus mencari tempat tersembuni agar bisa melakukannya. Tampaknya sepele. Padahal masalah serius kerap terjadi akibat kelalaian atau ketidakmauan pihak perusahaan menyediakannya. Terutama bagi buruh perempuan yang bekerja di bagian perawatan seperti pemupukan. Sering mereka mengalami masalah pada alat reproduksi atau rahimnya akibat terkontaminasi zat-zat kimia yang melekat di tangannya tidak dibersihkan terlebih dahulu saat buang air di waktu-waktu kerja di kebun. Tentu ini persoalan yang tak bisa dipandang sebelah mata.

Satu ketika di perkebunan kelapa sawit milik perusahaan swasta yang berada Kabupaten Mandailing Natal, dua orang buruh perempuan meninggal dunia akibat dimangsa buaya saat buang hajat di sungai. Sebagian tubuhnya tercabik-cabik dan kemudian ditemukan di dalam perut buaya yang berhasil ditangkap. Berkali-kali rekaman berbentuk video tentang peristiwa menyeramkan ini ditayangkan di hadapan wartawan agar diinformasikan ke publik. Dianggap persoalan kecil, ternyata kakus atau WC jadi sesuatu yang mengakibatkan kehilangan nyawa.

Masuk ke hitung-hitungan soal upah dan insentif yang biasa diterima buruh sebagai hasil kerja kerasnya mengabdi ke perusahaan. Untuk pekerjaan pemanen dikenal istilah basis borong dan komedil guna menetapkan target janjang sawit yang harus diturunkan dari pohonnya. Ini kemudian yang akan menentukan apakah buruh dapat mencapai target atau sebaliknya, berhak atas upah lembur atau tidak. Tergantung usia pohon sawit. Pada setiap kelompok pohon dengan usia yang berlainan, maka berbeda pula jumlah janjang yang harus didodos. Sebab tingkat kesulitannya juga tak sama. Usia pohon menentukan ketinggiannya, makin tinggi akan semakin sulit bagi buruh menurunkan buahnya.

Ada kebijakan “bimsalabim” yang diimplementasikan manajemen kebun dalam proses penghitungan terpenuhi atau tidaknya basis borong oleh buruh. Secara umum sesuai UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan waktu kerja perhari untuk semua jenis pekerjaan adalah tujuh (7) jam. Di luar itu akan dihitung sebagai overtime alias lembur. Termasuk bila bekerja pada hari Minggu atau hari libur nasional. Karena optional, bukan obligation atau kewajiban, ada model penghitungan tersendiri untuk menentukan nilai kompensasi insentif yang bakal diterima buruh.

Akan tetapi oleh pemilik kebun semua ketentuan formal itu dijungkirbalikkan. UU Ketenagakerjaan “dimanipulasi” menjadi ketentuan yang hanya menguntungkan bagi pihak kebun, tak peduli apakah akan menyengsarakan buruh. Pertama, jika sampai batas tujuh jam kerja target basis borong berdasarkan jumlah janjang belum terpenuhi maka buruh diwajibkan bekerja dengan catatan tidak mendapatkan insentif lembur (di kebun biasanya dikenal dengan istilah premi). Kedua, juga jika sampai waktu tujuh jam kerja target berdasarkan komedil (tonase) tidak tercapai, setiap pemanen tidak boleh berhenti bekerja. Juga tanpa pembayaran premi.Sebaliknya, jika sebelum waktu tujuh jam kerja berakhir pendodos dapat memenuhi target basis borong baik berdasarkan jumlah janjang maupun komedil, buruh belum diperkenankan pulang. Mereka tetap harus memanggul egregnya menurunkan tandan sawit.

Itu sebabnya, demi memenuhi target basis borong yang tidak tercapai di waktu kerja normal, buruh pemanen tak jarang harus bekerja ketika orang lain menikmati hari liburnya. Sialnya tanpa dihitung lembur sehingga tidak mendapatkan insentif. Sering mereka “terpaksa” melibatkan istri dan anak-anaknya untuk ikut bekerja sebagai “relawan”; memanggul janjang sawit atau mengumpulkan berondolan-berondolannya agar terhindar dari sanksi denda. Oleh karenanya tak usah heran kalau banyak anak usia sekolah yang dipekerjakan di perkebunan kelapa sawit. Bukan oleh pihak kebun, tapi oleh orangtua mereka yang “dikejar-kejar” agar memenuhi target. Biasanya lokasi kebun yang hendak dipanen yang letaknya jauh dan berbukit atau rawa-rawa, itulah penyebab kegagalan pemenuhan target.

Ditambah cuaca hujan, kesulitan jadi berlipat ganda. Jadi bukan karena mereka malas atau tidak bersungguh-sungguh bekerja. Sama halnya dengan penerapan kebijakan bimsalabim penentuan basis borong yang sepenuhnya berada di tangan pengusaha, perhitungan tentang sanksi denda kepada buruh yang dianggap menyalahi juga ada pada pemilik kebun. Terhitung cukup banyak jenis kesalahan yang bisa berimplikasi denda. Misalnya, kelalaian saat menentukan sawit yang sudah cukup waktu untuk didodos, kelalaian saat mengumpulkan berondolan sehingga terdapat biji sawit yang tercecer, kesalahan saat memotong pelepah, dan sebagainya.

Pilihan yang tidak banyak guna mendapatkan pekerjaan sebagai jalan untuk meneruskan kehidupan menjadi penyebab utama buruh “terjebak” dalam “perbudakan modern” di perkebunan kepala sawit. Bekerja jauh di pelosok, dibayar dengan upah yang tidak pantas, peralatan kerja yang harus dilengkapi sendiri, melibatkan istri dan anak tanpa dibayar, menghadapi ancaman denda yang menggerogoti upah, dan sebagainya. Mereka tak mampu melawan.

Siapa Peduli

Sejak zaman kolonialBelanda, buruh perkebunan di perlakukan oleh majikan berdasarkan aturan yang di kenal dengan nama Poenale Sactie (Koeliordonantie) yang mewajibkan adanya kontrak kerja antara buruh dengan majikan. Namun setelah lebih dari seratus tahun usia perkebunan, kehidupan buruh perkebunan tidak beranjak menuju kesejahtraan. Bahkan sampai saat ini pemerintah Indonesia belum meratifikasi konvensi ILO No. 110 tentang Ketentuan Pekerjaan Buruh Perkebunan. Penerapan UU No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pada perkebunan kelapa sawit sangat tidak relevan. UUK yang berlaku lebih cenderung di praktekkan di manufaktur, perbedaan jenis pekerjaan yang menggunakan tenaga manusia, jam kerja yang berbeda, target kerja serta perhitungan upah berbeda antara manufaktur dengan perkebunan kelapa sawit.

Akan tetapi adakah yang peduli dengan kesengsaraan kehidupan buruh kebun kelapa sawit? Adakah pihak yang bersungguh-sungguh mau membantu agar kesejahteraan yang merupakan hak mereka dapat terwujud?. Pemerintah sekalipun (dalam hal ini Kemenaker di pusat atau Disnaker di tingkat daerah) tampaknya belum memiliki perspektif dan roadmap (peta jalan) yang baik dan jelas tentang perlindungan dan pemberdayaan buruh di kebun kelapa sawit. Sebuah contoh sederhana, dalam penentuan upah antara buruh industri dengan buruh perkebunan bisa-bisanya keduanya diseragamkan. Dihitung berdasarkan 60 komponen biaya hidup. Padahal dari kebutuhan kalori saja sudah pasti berbeda karena tak jarang buruh harus berjalan berkilo-kilometer untuk dapat mencapai kebun yang akan didodos dan memanggul tandan sawit berton-ton ke tempat penampungan.

Berharap pada kerelaan pemilik kebun agar mereka menerapkan cara-cara manusiawi dalam memperlakukan buruh adalah sesuatu yang jauh panggang dari api. Setidaknya untuk saat ini hal tersebut merupakan sesuatu yang mustahil. Sebagai pelaku bisnis bagi mereka keuntungan sebesar-besarnya merupakan keharusan sehingga efisiensi termasuk pengeluaran kepada buruh harus ditekan. Buruh di perkebunan kelapa sawit yang jumlahnya di Indonesia diperkirakan mencapai 16 juta orang membutuhkan perlindungan hukum. Bayangkan dari jumlah itu sekitar 70 persen diantaranya masih berstatus pekerja harian lepas atau Buruh Harian Lepas. Karena status kerja yang begitu rentan dapat dipecat sewaktu-waktu, maka sudah pasti hak-hak mereka terkait upah dan sejumlah insentif lainnya juga jadi tak jelas. Membiarkan hal semacam ini terus terjadi berarti juga melanggengkan perbudakan berlangsung. Perbudakan modern. Wallahu a’lam. (Herwin Nasution SH, Ketua Umum SERBUNDO).

Bagikan :